Suara.com - Federal Reserve System atau The Fed, bank sentral Amerika Serika merespon konflik yang tengah terjadi saat ini dengan menahan suku bunga acuannya pada level yang tinggi, dikenal sebagai kebijakan "higher for longer".
Keputusan ini cukup mengejutkan saat banyak ekonom dan pelaku pasar finansial telah memperkirakan bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga mereka dalam waktu dekat, namun situasi geopolitik global yang tidak stabil mempengaruhi keputusan tersebut.
Langkah ini diambil di tengah kondisi geopolitik dunia yang semakin runyam. Untuk diketahui, konflik antara Ukraina dan Rusia telah merambat hingga ke NATO, dengan Amerika Serikat ikut campur.
Serangan Israel terhadap Palestina juga menyebabkan lebih dari 33.000 korban meninggal dunia, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Israel juga terlibat dalam konfrontasi dengan Iran, menyerang diplomat Iran di Suriah, yang memicu kemarahan Iran dan respons balasan terhadap Israel.
Di tengah ketegangan antara Iran dan Israel serta konflik di negara-negara Afrika, termasuk Sudan, kondisi global menjadi prihatin.
Tidak berbeda dengan The Fed, Bank Indonesia (BI) juga memproyeksikan penurunan suku bunga acuan, mengikuti kemungkinan tindakan yang akan diambil oleh The Fed.
Namun, mengingat situasi geopolitik global yang belum stabil, BI akan mempertimbangkan ulang rencananya. BI perlu memastikan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yield obligasi dalam negeri, dan kurs rupiah berada dalam kondisi yang stabil sebelum mengambil keputusan untuk menurunkan suku bunga acuan, demi menjaga stabilitas moneter dalam negeri.
Selain Bank Indonesia, pemerintah juga berusaha menjaga stabilitas keuangan nasional melalui reformasi sektor keuangan dengan menerapkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Menurut Adi Budiarso, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, reformasi ini dilakukan bersamaan dengan program cipta kerja, harmonisasi perpajakan, serta penyederhanaan birokrasi untuk mendukung pencapaian visi Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: Dibabat Habis Bhayangkara 7 Gol Tanpa Balas, Persik Kediri Evaluasi Besar-besaran
Kedalaman sektor keuangan Indonesia masih perlu ditingkatkan karena relatif dangkal dibandingkan negara ASEAN-5 lainnya, yaitu Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand
Sebagai contoh, nilai aset perbankan yang selama hampir 15 tahun terakhir mendominasi proporsi aset keuangan domestik ternyata masih jauh lebih kecil dibandingkan nilai aset perbankan di negara ASEAN-5 lainnya tersebut.
Tidak peduli seberapa besar peluang pengembangan nilai aset perbankan Indonesia tersebut, tanpa adanya langkah untuk meredam dampak dari gejolak geopolitik saat ini, maka perkembangannya tidak akan optimal, apalagi mengingat kurs rupiah yang semakin melemah.
Menurut Direktur Bisnis Kecil dan Menengah Bank Rakyat Indonesia (BRI) Amam Sukriyanto, kondisi perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh secara moderat sepanjang tahun ini. Sementara itu, risiko makroekonomi berada di level tinggi selama semester pertama dan akan menurun ke level moderat pada semester kedua.
Seperti yang dikutip dari Antara, BRI menyiapkan beberapa bauran strategi untuk mengantisipasi keadaan tersebut. Pada semester pertama ini, mereka memilih untuk melakukan ekspansi kredit secara moderat, mengingat potensi pertumbuhan masih cukup baik.
Namun, pengimplementasian pedoman portofolio kredit (Loan Portfolio Guideline/LPG) dan pengawasan terhadap pinjaman bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) perlu diperketat karena adanya risiko makroekonomi yang tinggi.