"Jadi tidak bisa satu kebijakan berlaku untuk segala jenis industri. Segala jenis produk ternyata harus di breakdown lagi. Proses ini secara kebijakan agak cukup lama. Akhirnya praktiknya adalah untuk masing-masing jenis industri punya kebijakan sendiri-sendiri nantinya," jelas Apit.
Contohnya di otomotif, insentif yang sudah berlaku sekarang ada program LCEV, dimana pabrikan mobil mulai melakukan hilirisasi dengan perakitan lokal dan menggunakan teknologi ramah lingkungan.
Apit menyebut, kebijakan bukan hanya restriktif (menekan), seperti jika kebijakan pembatasan emisi secara langsung, dimana konsekuensinya perusahaan harus mengeluarkan dana.
"Keluar duit buat apa? Untuk verifikasi, untuk implementasi teknologi datacarbon. Kami nggak cuma mengeluarkan kebijakan yang sifatnya restriktif, kami juga mengeluarkan kebijakan yang sifatnya fasilitatif. Nanti untuk verifikasi, untuk implementasi teknologi datacarbon, uangnya kita cariin pakai green loan. Yang menarik konsep green loan itu harus dibalikin, namanya juga minjem gitu ya," kata Apit.
Misalnya, perusahaan industri nanti misalnya ingin pasang solar panel untuk fasilitas produksi. Biaya implementasi teknologi datacarbon dapat dibayai oleh green loan.
Pemerintah memiliki filosofi cost recovery through cost efficiency, yang artinya pemulihan biaya melalui efisiensi biaya, artinya mengembalikan uangnya dari cost efficiency yang terjadi dari penggunaan green energy.
"Kalau pasang solar panel, biaya energi produksinya turun. Misalnya efisiennya 30 persen, tadinya belanja energi Rp 100 miliar setahun, karena pasang solar panel jadi Rp 70 miliar. Sisa Rp 30 miliarnya itu yang dipakai untuk balikin uangnya. Artinya dari sisi perusahaan tidak nambah uang, tetap aja belanjanya Rp 100 miliar, tapi mungkin sampai 5 tahun ke depan maksimal gitu. Setelah itu baru menikmati cost efficiency-nya," jelas Apit.