Suara.com - Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berbalik melemah pada pembukaan Senin (14/4/2025) pagi di level 6.225. Namunm penguatan pelemahan itu sementara karena IHSG bergerak fluktuatif.
Mengutip data RTI Business, pada pukul 09.02 IHSG justru berbalik menguat 0,17 persen atau 10,47 poin menjadi ke level 6.272.
Pada waktu itu, sebanyak 756,29 juta saham diperdagangkan dengan nilai transaksi sebesar Rp871,65 miliar, serta frekuensi sebanyak 59,8 ribu kali.
Dalam perdagangan di waktu itu, sebanyak 277 saham bergerak naik, sedangkan 90 saham mengalami penurunan, dan 205 saham tidak mengalami pergerakan.
Proyeksi IHSG
Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali pekan ini akan mencoba untuk betah berada di zona hijau. Hal ini setelah IHSG alami penguatan di pada Jumat pekan kemarin.
Head of Retail Research BNI Sekuritas, Fanny Suherman mengatakan, kenaikan IHSG ini juga diikuti bursa saham Amerika Serikat (AS) yang naik tajam. Kenaikan tersebut didorong pernyataan dari Presiden The Fed Bank of Boston Susan Collins yang menegaskan bahwa The Fed siap bertindak menjaga stabilitas pasar keuangan jika diperlukan.
Indeks Dow Jones Industrial Average naik 1,56 persen, S&P 500 menguat 1,81 persen, dan Nasdaq Composite meningkat 2,0 persen.
"Sementara itu, pekan kemarin pasar sempat diguncang oleh pencabutan sementara tarif terhadap barang-barang Eropa, serta aksi balasan China terhadap kenaikan tarif dari AS. Ketegangan meningkat setelah China membalas kenaikan tarif AS hingga mencapai tarif efektif sebesar 145 persen. Perang dagang ini tak hanya memicu fluktuasi tajam di pasar saham, namun juga mendorong ekspektasi inflasi konsumen AS ke level tertinggi sejak 1981," ujar Fanny dalam risetnya Senin (14/4/2025).
Baca Juga: IHSG Diproyeksi Mencoba Betah Berada di Zona Hijau pada Perdagangan Hari Ini
Sedangkan, lanjut Fanny, pasar Asia Pasifik kembali melakukan aksi jual karena kekhawatiran perang dagang AS dengan China. Saham Asia Pasifik beragam pada Jumat (11/4). Ketegangan perang dagang antara dua ekonomi terbesar dunia memicu sentimen penghindaran risiko.