Suara.com - Upaya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mempersoalkan tuduhan kartel bunga pada seluruh pelaku usaha pinjaman daring (pindar) ini menjadi polemik. KPPU dianggap tidak memihak kepentingan konsumen.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI), Ditha Wiradiputra menilai, penetapan bunga pindar sebenarnya untuk melindungi konsumen agar dapat mengakses layanan keuangan yang affordable dan terhindar dari jerat pinjol ilegal.
Terlebih, awal dari langkah penurunan bunga adalah arahan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam situasi kekosongan hukum yang mengatur industri pinjaman daring.

"KPPU itu ditujukan untuk mencegah terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Tujuan akhirnya adalah kesejahteraan masyarakat. Karena salah satu tujuan UU Persaingan Usaha adalah melindungi kepentingan umum dan yang telah dilakukan adalah bagian dari melindungi kepentingan umum," ujarnya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (11/8/2025).
Bunga menuturkan, persaingan bunga pindar itu agar masyarakat mendapatkan produk atau jasa terbaik pada harga terbaik
"Kalau upaya pelaku usaha untuk membuat layanan keuangan lebih dapat diakses, lalu dituduh melanggar hukum, kepentingan siapa yang dibela KPPU? Bisa-bisa KPPU dianggap penganut ekonomi kapitalis, sebab bicara ekonomi kapitalis ternyata membawa konsekuensi hukum," imbuhnya.
Untuk diketahui, KPPU akan menyidangkan 97 penyelenggara layanan pindar legal dan berizin dalam sidang perdana dugaan kartel suku bunga pinjaman daring. Lembaga tersebut menuduh para pelaku industri yang tergabung di asosiasi melakukan pengaturan bersama mengenai tingkat suku bunga pada kurun 2020-2023 sehingga dianggap membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen.
Dugaan tersebut sebelumnya sudah dibantah oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Dalam pernyataannya, AFPI menegaskan bahwa pihaknya merupakan asosiasi resmi yang ditunjuk OJK mewadahi penyelenggara layanan pendanaan bersama berbasis teknologi informasi (LPBBTI) di Indonesia.
AFPI menekankan bahwa penurunan bunga maksimum merupakan arahan dari OJK yang dibuat untuk melindungi konsumen dari predatory lending tanpa menghilangkan kompetisi antar pelaku industri.
Baca Juga: OJK Awasi 11 Pindar yang Belum Penuhi Ekuitas Modal, Siapa Saja?
OJK sendiri sebelumnya telah mengakui bahwa penetapan bunga maksimum merupakan arahan yang mereka berikan kepada AFPI dalam merespons kekosongan regulasi demi memberikan perlindungan konsumen sekaligus membedakan platform online legal dari pinjol ilegal.
Dari semula bunga maksimum 0,8 persen pada 2018, kembali turun menjadi 0,4 persen pada 2020, lalu akhirnya ditekan lagi menjadi 0,3 pesen untuk pinjaman dengan tenor kurang dari 6 bulan dan 0,2 persen untuk tenor lebih dari 6 bulan melalui Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Dalam tiga kali penetapan bunga maksimum tersebut, hanya yang terakhir yang tidak disemprit oleh KPPU.