Risiko dan Peluang Pemangkasan Suku Bunga saat Tekanan Inflasi masih Berlangsung

Jum'at, 26 September 2025 | 15:35 WIB
Risiko dan Peluang Pemangkasan Suku Bunga saat Tekanan Inflasi masih Berlangsung
Ilustrasi rupiah (Pixabay/Iqbal Nuril Anwar )

Suara.com - Bank Indonesia (BI) telah mulai melonggarkan kebijakan sejak akhir 2024, menurunkan suku bunga acuan secara bertahap untuk mendorong ekonomi yang masih lesu. Pada Agustus 2025, BI kembali memangkas BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,00%, level terendah sejak akhir 2022. Langkah ini mengikuti pemangkasan sebelumnya ke 5,25% pada Juli dan 5,50% pada Juni.

Meskipun inflasi terkendali dan rupiah tetap stabil, keputusan tersebut diambil di tengah tantangan seperti melemahnya permintaan domestik, potensi tarif ekspor AS, dan gejolak ekonomi global. Dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 berada di kisaran 4,6–5,4% dan target ambisius pemerintah mencapai 5,4% pada 2026, pemangkasan suku bunga dipandang sebagai instrumen vital untuk menjaga momentum pertumbuhan dan investasi.

Perubahan suku bunga selalu memicu perdebatan di kalangan pelaku pasar dan masyarakat luas, terutama mereka yang memanfaatkan instrumen keuangan internasional seperti perdagangan valuta asing. Tren perubahan kebijakan moneter sering mendorong orang untuk memperdalam pemahaman tentang pasar valas, bagaimana pergerakan rupiah, bagaimana inflasi memengaruhi daya beli, dan bagaimana kebijakan suku bunga dapat dimanfaatkan untuk tujuan investasi atau lindung nilai. Para trader dan investor juga melihat peluang dari selisih antara suku bunga domestik dan global, meskipun risikonya tetap harus dikelola dengan hati-hati.

Dalam konteks ini, platform broker yang andal seperti HFM menjadi sangat penting untuk mengakses pasar global dengan aman dan nyaman, dengan menyediakan teknologi mutakhir bagi investor yang ingin memanfaatkan fluktuasi nilai tukar akibat perubahan suku bunga, termasuk pemangkasan suku bunga oleh BI.

Dari sisi peluang, penurunan suku bunga dapat menurunkan biaya pendanaan bagi dunia usaha, memperkuat konsumsi rumah tangga, dan memberi insentif kepada perbankan untuk menurunkan bunga kredit. Hal ini dapat merangsang investasi swasta, terutama pada sektor padat modal atau sektor yang masih lemah seperti manufaktur dan UMKM. Dengan inflasi yang relatif terkendali, CPI Juni 2025 sempat turun di bawah 2%, dan permintaan agregat yang masih menyisakan ruang ekspansi produksi, BI melihat kesempatan untuk melembutkan suku bunga tanpa menimbulkan lonjakan harga signifikan.

Namun, di balik peluang tersebut, terdapat sejumlah risiko. Pertama, jika pelonggaran moneter dilakukan terlalu cepat atau berlebihan, inflasi bisa kembali naik. Tekanan harga global, seperti kenaikan energi atau pangan, dapat melemahkan efektivitas pemangkasan suku bunga dalam jangka menengah. Kedua, suku bunga rendah dapat mengurangi daya tarik investasi portofolio asing pada instrumen rupiah seperti obligasi pemerintah, sehingga memicu arus modal keluar dan volatilitas rupiah.

Ketiga, perbankan mungkin mengalami penyempitan margin bunga bersih jika tidak diimbangi efisiensi atau peningkatan kredit produktif.

Selain itu, memangkas suku bunga di tengah tekanan inflasi juga menghadirkan tantangan tambahan. Faktor eksternal seperti fluktuasi tarif ekspor ke AS dan industri domestik yang belum sepenuhnya pulih bisa meredam efek stimulus. Lemahnya sektor riil, terutama manufaktur dan investasi, dapat mengurangi multiplier effect dari pelonggaran moneter. Jika BI tidak hati-hati, kebijakan ini berisiko memicu overheating pada aset tertentu,misalnya lonjakan kredit konsumsi barang mewah, tanpa menyentuh fondasi produktivitas jangka panjang.

Keseimbangan antara menjaga stabilitas inflasi dan mendukung pertumbuhan sangat dibutuhkan. BI menegaskan bahwa penurunan suku bunga dilakukan secara hati-hati, bertahap, dan selalu berdasarkan indikator makroekonomi seperti inflasi, stabilitas kurs, serta pertumbuhan kredit.

Baca Juga: Daerah Dengan Inflasi di Atas 3,5 Persen Diimbau Mendagri Segera Lakukan Pengendalian

Permintaan kredit yang perlahan pulih, diiringi arus modal yang masih stabil, menunjukkan bahwa pelonggaran moneter ini masih dalam kerangka aman, meskipun tetap perlu membedakan sektor yang benar-benar membutuhkan stimulus dari sektor yang rentan terhadap ekses kebijakan.

Sebagai pelengkap, kebijakan fiskal seperti belanja pemerintah juga berperan penting. Peningkatan belanja infrastruktur serta dukungan untuk UMKM dan program pangan dapat memperkuat dampak pemangkasan suku bunga. Interaksi positif antara kebijakan moneter dan fiskal dapat menciptakan efek saling memperkuat, mendorong permintaan yang lebih merata dan produktif. Tanpa dukungan fiskal yang tepat, stimulus moneter bisa kurang efektif dalam meningkatkan produksi dan lapangan kerja.

Kehati-hatian pemerintah dan otoritas moneter sangat diperlukan agar kebijakan tetap sesuai dengan kondisi riil ekonomi. Industri perumahan, otomotif, dan konsumsi rumah tangga bisa cepat merespons suku bunga rendah, namun investasi jangka panjang seperti manufaktur atau teknologi masih memerlukan sinyal yang lebih kuat, termasuk kepastian fiskal, insentif pajak, dan perbaikan iklim investasi.

Masyarakat, pelaku usaha, dan investor pada akhirnya dapat mengambil manfaat lebih besar jika terus meningkatkan literasi keuangan, memahami keterkaitan antara suku bunga, inflasi, dan nilai tukar. Dengan begitu, setiap langkah BI untuk menurunkan suku bunga dapat dipahami dalam konteks yang lebih luas, sebagai bagian dari dinamika ekonomi yang terus bergerak dan membentuk arah pertumbuhan ke depan. ***

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI