- Danantara tugaskan PLN kelola Waste to Energy (WTE) dengan skema baru
- Beban tipping fee kini disubsidi pemerintah pusat, diabsorb oleh PLN
- WTE targetkan 33 kota, olah 1.000 ton sampah hasilkan 15 MW listrik
Suara.com - Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) menjadi komodor dalam pogram pengolah sampah jadi energi atau Waste to Energy. Danantara pun telah menentukan skema pengelolaan program tersebut.
CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, menjelaskan pihaknya akan menugaskan PT PLN (Persero) dalam pengelolaan program Waste to Energy.
Menurutnya, selama ini skema yang berkembang bahwa pemerintah daerah masih terbebani biaya layanan pengolahan lahan atau tipping fee. Namun, dengan skema yang baru tipping fee akan dibebankan oleh PLN subsidi dari pemerintah pusat.

"Kalau dulu memang pemerintah daerah ada porsi adalah tipping fee yang harus berkontribusi dalam program Waste to Energy ini atau pengolahan sampah, tetapi dengan struktur yang baru itu tidak ada lagi," Rosan di Wisma Danantara, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
"Jadi tidak ada lagi beban tipping fee yang dikembangkan kepada perusahaan daerah, tetapi itu semua akan diabsorb langsung oleh PLN, yang kemudian PLN akan menciptakan subsidi dari pemerintah pusat," sambung dia.
Rosan yang juga menjabat Menteri Investasi dan Hilirisasi ini menuturkan, selain skema tipping fee, juga telah menetapkan tarif listrik yang dibebankan.
"Tipping fee-nya sekarang ada di PLN. Dan tarif-tarifnya kita udah fix, 20 sen," imbuhnya.
Adapun, Skema baru ini diharapkan bisa mempercepat implementasi program Waste to Energy di 33 kota, dengan Jakarta menjadi prioritas utama.
Program ini ditargetkan mampu mengolah minimal 1.000 ton sampah per hari di setiap daerah, menghasilkan listrik sekitar 15 MW, dan memenuhi kebutuhan hingga 20.000 rumah.
Baca Juga: Pengelolaan Sampah Desa Cijaura Bandung Didukung Telkom Lewat Greenhouse dan Tempat Sampah Organik
Selain memberi solusi jangka panjang terhadap darurat sampah, Waste to Energy juga diklaim mampu mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 50–80 persen, sekaligus mendukung target Indonesia mencapai net zero emission pada 2060.