Suara.com - Di Aceh, bendera putih yang dikibarkan oleh warga di berbagai titik termasuk di Aceh Timur dan sepanjang jalur nasional Banda Aceh–Medan bukanlah sekadar kain.
Ini adalah simbol keputusasaan, sinyal darurat, dan pengakuan bahwa mereka telah "menyerah oleh keadaan". Warga menegaskan bahwa mereka sudah tidak sanggup lagi mengatasi dampak banjir dan minimnya bantuan yang datang.
Tindakan ini adalah seruan minta tolong yang mendesak kepada pemerintah pusat, yang dinilai lambat dalam penanganan bencana.
Bendera putih ini menjadi penanda bagi dunia bahwa masyarakat memerlukan bantuan segera. Ini adalah cara masyarakat sipil mendesak Presiden Prabowo Subianto agar menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional.
Dengan status bencana nasional, diharapkan akan ada respons terpadu, penambahan logistik, tenaga medis, alat berat, dan kebutuhan vital lainnya yang tidak mampu dipenuhi oleh pemerintah daerah.
Masri selaku juru bicara Gerakan Rakyat Aceh Bersatu bahkan mengancam bahwa jika tuntutan ini tidak diindahkan, seluruh gerakan sipil di Aceh akan bersatu dan turun ke jalan pada 16 Desember 2025.
Selain bantuan darurat, tuntutan utama masyarakat juga mencakup pendataan kerusakan total, langkah relokasi, rekonstruksi, rehabilitasi, dan jaminan pemulihan ekonomi bagi rakyat kecil yang kehilangan sumber penghidupan.
Sejarah Bendera Putih
Penggunaan bendera putih oleh warga Aceh sebagai simbol "menyerah" atau "mengaku kalah oleh keadaan" ini sangat relevan dengan sejarah globalnya.
Baca Juga: Banjir Sumatera Luluh Lantahkan 70.000 Ha Sawah, Kapan Perbaikan Dimulai?
Secara historis, bendera putih (atau kain putih) telah digunakan selama berabad-abad, terutama dalam konteks militer dan konflik, sebagai tanda gencatan senjata, negosiasi, atau menyerah tanpa syarat.
Sejak era Kekaisaran Romawi, catatan menunjukkan penggunaan kain putih untuk menandakan niat damai atau penyerahan diri. Warna putih dipilih karena kontrasnya yang jelas dan mudah dilihat di berbagai kondisi, serta melambangkan 'tanpa noda' atau 'netralitas'.
- Menyerah: Ini adalah makna yang paling umum dikenal. Ketika sebuah pasukan atau pihak mengibarkan bendera putih, itu berarti mereka menghentikan perlawanan dan menyerahkan diri kepada musuh. Tujuannya adalah untuk mengakhiri pertempuran dan mencegah pertumpahan darah lebih lanjut.
- Negosiasi atau Gencatan Senjata: Bendera putih juga sering digunakan oleh para perunding atau utusan yang ingin mendekati pihak musuh untuk bernegosiasi atau membicarakan gencatan senjata sementara. Ini memberikan kekebalan sementara kepada pembawa bendera, yang dihormati di bawah hukum perang internasional.
Dokumentasi tertua mengenai penggunaan bendera putih terlacak pada masa pemerintahan Dinasti Han di Tiongkok sekitar abad ke-1 Masehi.
Bagi kebudayaan China kala itu, putih tidak hanya digunakan dalam pertempuran, tetapi juga menjadi representasi dari rasa duka cita, kemalangan, serta ungkapan kesedihan yang mendalam.
![Foto udara kerusakan rumah warga pasca diterjang banjir bandang di Desa Kota Lintang, Kota Kuala Simpang, Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025). [ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/nz]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/12/04/57835-bencana-banjir-sumatera-banjir-bandang-aceh-tamiang.jpg)
Dalam kasus Aceh, masyarakat sipil mengambil makna "menyerah" namun bukan menyerah kepada musuh, melainkan kepada daya rusak bencana dan kondisi darurat yang tak tertanggulangi.
Bendera putih di Aceh bisa diterjemahkan sebagai sinyal 'menyerah' warga yang tidak lagi mampu menahan kondisi akibat bencana.
Bencana alam yang terjadi akhir November lalu telah menghabiskan tenaga dan sumber daya mereka (seperti ketersediaan makanan yang menipis), sambil secara implisit menuntut "negosiasi" atau intervensi darurat dari otoritas tertinggi.
Kritik dan Kondisi Darurat
Mantan Sekretaris BRR Aceh-Nias, Teuku Kamaruzzaman (Ampon Man), mendukung bahwa bendera putih itu adalah isyarat kondisi darurat yang harus direspons cepat.
Ia menggambarkan betapa parahnya kondisi di lapangan, di mana warga hidup berminggu-minggu tanpa listrik, komunikasi, BBM, dan elpiji yang melumpuhkan ekonomi dan melonjakkan harga kebutuhan pokok.
Ampon Man menyoroti keterbatasan lembaga pemerintah dalam penanganan bencana. Ia mencatat minimnya tenaga penyelamat terlatih, tiadanya distribusi logistik besar-besaran melalui udara seperti saat Tsunami 2004, dan ketiadaan pengerahan cadangan negara secara masif.
Ia mengkritik PLN dan Pertamina yang dinilai lamban merespons dengan mekanisme darurat. Baginya, kelambanan pusat ini sama saja dengan meremehkan nyawa korban, sebuah ironi yang mendorong kesimpulan pahit: Aceh harus berani berjuang dengan kekuatannya sendiri.
Oleh karena itu, pengibaran bendera putih di Aceh adalah tindakan yang secara dramatis menghubungkan sejarah simbol penyerahan diri dengan realitas darurat kemanusiaan, menuntut intervensi segera di tingkat nasional dan internasional.
Untuk diketahui, jumlah korban akibat bencana alam yang terjadi di Aceh dan Sumatra saat ini adalah 1.030 orang meninggal dunia, sementara 206 orang masih hilang. Selain itu, sekitar 7.000 warga mengalami luka-luka. Sedangkan jumlah pengungsi 608.940 orang.
Pemerintah, melalui Presiden Prabowo menegaskan, Indonesia mampu dan kuat untuk mengatasi bencana ini.
Hingga kini, pemerintah Indonesia masih belum memutuskan status bencana nasional dan belum membuka bantuan internasional untuk Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Kontributor : Rizqi Amalia