Negosiasi Tarif Dagang dengan AS Terancam Gagal, Apa yang Terjadi?

Selasa, 16 Desember 2025 | 20:35 WIB
Negosiasi Tarif Dagang dengan AS Terancam Gagal, Apa yang Terjadi?
Negosiasi tarif dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat disebut berpotensi gagal, setelah ada sejumlah klausul yang belum disepakati. [Suara.com/Aldi]
Baca 10 detik
  • Pejabat AS mengklaim Indonesia menarik komitmen dagang yang sudah disepakati pada Juli 2025, namun Indonesia membantah ada masalah substantif.
  • Dua klausul utama diperdebatkan: pembatalan sepihak dan larangan penggunaan kapal buatan China untuk ekspor.
  • Kegagalan negosiasi berpotensi merugikan ekspor Indonesia ke AS, tujuan ekspor terbesar kedua senilai $25,56 miliar.

Suara.com - Negosiasi tarif dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia menghadapi ketidakpastian setelah pejabat AS baru-baru ini mengeklaim bahwa Jakarta telah menarik kembali sebagian komitmen yang sebelumnya disepakati dalam perjanjian dagang pada Juli 2025.

"Mereka mengingkari apa yang telah kita sepakati pada bulan Juli," ujar pejabat AS yang tidak mau disebutkan namanya, dikutip dari Reuters pada 10 Desember.

Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, pekan lalu turut menyentil isu ini dengan menyebut Indonesia "mulai sedikit membangkang" dalam negosiasi, meskipun ia tidak memberikan detail lebih lanjut.

Meski pemerintah Indonesia membantah keterangan AS, tapi dinamika ini memicu pertanyaan apa yang akan terjadi jika perundingan ini gagal? Apa yang memicu rusaknya perjanjian dagang? Dan yang tak kalah penting, apa dampaknya untuk Indonesia?

Ada dua klausul yang disebut belum disepakati Indonesia dan Amerika Serikat dalam negosiasi tarif dagang antara dua negara. [Suara.com/Aldi]
Ada dua klausul yang disebut belum disepakati Indonesia dan Amerika Serikat dalam negosiasi tarif dagang antara dua negara. [Suara.com/Aldi]

Dua Klausul Kunci

Menjawab tudingan AS, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa proses negosiasi berjalan normal dan belum ada persoalan substantif yang muncul.

"Dinamika dalam proses perundingan merupakan hal yang wajar. Pemerintah Indonesia berharap bahwa kesepakatan dapat segera tercapai dan menguntungkan kedua pihak," kata Haryo Limanseto dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian).

Sumber lain dari pemerintah Indonesia menyebutkan isu yang ada hanyalah terkait harmonisasi bahasa dalam teks perjanjian.

"Perundingan dagang Indonesia dan Amerika Serikat masih berproses, tidak ada permasalahan spesifik dalam perundingan yang dilakukan, dinamika dalam proses perundingan adalah hal yang wajar," kata Haryo.

Baca Juga: Pemerintah Optimistis Negosiasi Tarif dengan AS Rampung Sebelum 2025 Berakhir

Tetapi laporan Bloomberg pekan lalu menunjukkan bahwa Indonesia keberatan dengan klausul-klausul yang membolehkan AS untuk membatalkan perjanjian dagang, jika Jakarta melakukan kesepakatan dengan negara lain yang bisa merugikan AS.

Klausul ini dinilai akan menghambat hubungan dagang Indonesia dengan salah satu mitra dagang utamanya, China dan Rusia, terutama terkait komoditas mineral kritis serta energi.

Faktor lain, yang mencuat pada Oktober lalu adalah salah satu klausul yang melarang Indonesia menggunakan kapal berbendera China atau buatan China untuk mengirim barang ekspor.

Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan permintaan itu tak bisa dipenuhi Indonesia, karena akan membuat ongkos perdagangan Indonesia lebih mahal hingga 30 persen.

"Misalnya, dia melarang untuk menggunakan kapal berbendera China atau buatan China. Saya bilang sama Lutnick, kalau kita pakai itu, pasti harganya mahal dan nanti melanggar peraturan kami, undang-undang kami. Itu masih jadi perdebatan juga," beber Luhut yang menceritakan percapakannya dengan Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick.

Apa yang Disepakati?

Indonesia dan AS pada Juli lalu sudah mencapai kesepakatan penting dalam negosiasi tarif. Dalam kesepakatan itu, AS akan menurunkan tarif yang sebelumnya diancamkan terhadap produk Indonesia, dari 32 persen menjadi 19 persen.

Selain itu, komoditas-komoditas strategis Indonesia seperti minyak sawit mentah, karet, teh, kopi dan produk karet lainnya, juga akan mendapatkan tarif 0 persen dari AS.

Sementara itu, pembahasan mengenai tarif untuk produk tekstil dan alas kaki, yang merupakan sektor penting bagi manufaktur nasional, masih terus berlanjut di tahap negosiasi.

Sebagai gantinya, Indonesia akan menghapus tarif atas lebih dari 99 persen barang impor dari AS dan menghapus hambatan non-tarif bagi perusahaan asal Amerika yang berbisnis di Tanah Air.

Di antara barang impor AS yang akan dikenakan tarif 0 persen adalah produk pertanian, kesehatan, seafood, teknologi informasi, otomotif dan produk kimia. Selain itu Indonesia juga berjanji akan membeli produk energi, pertanian, serta pesawat komersial dari AS.

Adapun hambatan non-tarif yang akan dihapus antara lain soal syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri atau TKDN untuk produk AS yang masuk ke Indonesia. Insentif ini diperkirakan akan sangat menguntungkan Apple yang sempat kesulitan menjual iPhone di Indonesia.

Siapa yang Untung?

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai kesepakatan ini sebagai capaian luar biasa yang berhasil diselesaikan dalam waktu singkat.

"Jika dibandingkan dengan negosiasi Indonesia-Uni Eropa yang memakan waktu 10 tahun, Trump bisa menuntaskan dalam hitungan bulan," ujar Hikmahanto dalam rilisnya beberapa saat lalu.

Ia juga menyoroti peran penting tim negosiator, yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Apalagi, Indonesia berhasil terhindar dari ancaman tarif tambahan 10% karena statusnya sebagai anggota penuh BRICS.

Pandangan kritis datang dari Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara. Bhima menilai perjanjian yang dimaksudkan untuk memperkuat hubungan dagang ini justru sarat dengan ketimpangan dan berisiko tinggi bagi kepentingan ekonomi nasional.

Menurut Bhima, kondisi ini membuat kesepakatan tersebut bukan win win solution dan malah berpotensi menimbulkan beban terhadap neraca perdagangan, anggaran negara, dan sektor strategis lainnya.

Indonesia terus menikmati surplus dalam neraca perdagangan dengan Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir. [Suara.com/Aldi]
Indonesia terus menikmati surplus dalam neraca perdagangan dengan Amerika Serikat dalam lima tahun terakhir. [Suara.com/Aldi]

Jika Gagal, Apa yang Terjadi?

Jika kesepakatan yang sebelumnya dicapai pada Juli 2025 benar-benar batal, Indonesia akan menghadapi dampak negatif signifikan pada sektor ekspor.

Apa lagi, menurut BPS, AS menjadi tujuan ekspor terbesar kedua setelah China pada tahun ini. Pada Januari - Oktober 2025, ekspor non-migas ke AS mencapai 25,56 miliar dolar AS, atau setara dengan 11,46 persen dari total ekspor Indonesia.

Produk yang paling banyak diekspor adalah mesin dan perlengkapan elektrik (4,92 miliar dolar AS), pakaian dan aksesorinya (2,31 miliar dolar AS), serta alas kaki (2,30 miliar dolar AS). Sektor inilah yang paling terdampak jika negosiasi tarif dengan AS gagal.

Neraca dagang Indonesia - AS juga masih dimenangkan Indonesia setidaknya dalam 10 tahun terakhir. Selama Januari - Oktober 2025, AS menjadi penyumbang surplus non-migas terbesar dalam neraca perdagangan Indonesia dengan nilai mencapai 17,40 miliar dolar AS, disusul oleh India dan Filipina.

Sementara di 2024, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan AS mencapai 14,37 miliar dolar AS. Tren ini sudah berlangsung selama 10 tahun terakhir.

Rampung Desember

Pemerintah Indonesia sendiri optimisiti negosiasi tarif dagang dengan AS akan rampung pada Desember 2025 ini. Pada pekan ini tim negosiasi Indonesia, di bawah komando Menko Perekonomian Airlangga Hartarto akan terbang ke AS untuk merampungkan negosiasi di Washington yang dijadwalkan berlangsung Kamis (18/12/2025) waktu setempat.

×
Zoomed

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI