Jatuhnya Malaikat Kegelapan, Jose Mourinho dan Ideologi Anti-Football

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 21 Desember 2018 | 16:35 WIB
Jatuhnya Malaikat Kegelapan, Jose Mourinho dan Ideologi Anti-Football
Karikatur Jose Mourinho The Dark Angel [David Rowe/Perspective]

Ketika Manchester United mengalahkan Ajax pada laga final Liga Eropa 2017 dengan skor 2-0, Mourinho yang bersuka cita menggambarkannya sebagai ”Kemenangan pragmatisme, kemenangan orang-orang yang rendah hati, kemenangan rakyat yang menghormati lawan, kemenangan orang-orang yang mencoba menghentikan lawan dan mengeksploitasi kelemahan mereka ”.

Sementara Manajer Ajax, Peter Bosz, mengatakan laga final kontra United asuhan Mou "Membosankan".

Tapi Mourinho tidak peduli. "Ada banyak penyair dalam sepakbola," sindirnya, "tetapi penyair tidak memenangkan gelar."

Mourinho oleh para pembencinya—atau setidak-tidaknya orang yang menyukai sepak bola indah—selalu  digambarkan sebagai pragmatis: melakukan apa pun yang diperlukan untuk menang.

Namun, mungkin, tuduhan itu tak sepenuhnya akurat. Sejak kemunculan Pep Guardiola yang langsung menjadi rival abadinya, ada kemungkinan lain ikut muncul.

Pertarungannya dengan Guardiola—seorang misionaris tiki-taka, gaya permainan terbuka, menyerang—di Spanyol dan kemudian Inggris menunjukkan filosofi anti-football Mourinho bukan sekadar bentuk pragmatisme, melainkan ideologis.

Guardiola adalah pemain senior di Barcelona ketika Mourinho meniti karier pertamanya dalam melatih pada klub yang sama. Mourinho awalnya merupakan asisten Bobby Robson di Barcelona. Saat Bobby digantikan Louis van Gaal, ia juga masih bercokol sebagai asisten.

Mourinho dan Guardiola kerap kali bentrok. Awalnya, mereka bentrok dalam laga Liga Champions 2010, saat Mou melatih Inter Milan dan Guardiola di Barca.

Kemudian, keduanya mengarungi dua musim yang sangat bergelora di La Liga Spanyol, setelah Mourinho mengambil  tawaran melatih Real Madrid.

Baca Juga: Diskon Akhir Tahun, Cek Promo dari 3 Toko Furniture Ternama Ini!

”Dari semua pertarungan keduanya, mungkin pragmatisme adalah tuduhan yang terlampau sederhana. Mungkin, Mourinho mempertahankan gaya permainan membosankan itu karena alasan ideologis. Ya, ideologi bahwa Mourinho bukan Guardiola,” tukas Jonathan Wilson.

Teguh memegang filsafat anti-football, Mourinho telah memenangkan delapan gelar liga di empat negara berbeda selama 14 tahun terakhir, mula dari Porto, Chelsea, Inter Milan, dan Real madrid.

Karier mengilap Mourinho di liga lokal itu, belum ditambah dua kali juara Liga Champions dan delapan piala kejuaraan domestik.

Namun, kemilau curicculum vitae itu, tak membuat Manchester United dulu benar-benar menginginkan Mourinho.

Tahun 2012 silam, ketika bos-bos United mulai merenungkan masa depan mereka tanpa Sir Alex Ferguson, direktur klub saat itu yakni Bobby Charlton sudah berikrar, “Kami tak mempertimbangkan Mourinho.”

Charlton memunyai alasan jelas dalam ikrarnya itu. Baginya, gaya sepak bola Mourinho tidak cocok dengan Man United yang gandrung terhadap pola menyerang dan umpan-umpan indah.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI