Suara.com - Mengenang tragedi berdarah di Stadion Port Said, Mesir pada 1 Februari 2012 yang menewaskan setidaknya 74 suporter. Pihak kepolisian diduga terlibat dalam insiden ini.
Laga yang paling ditunggu saat itu antara Al-Masry dan Al-Ahly justru berakhir dengan tragedi berdarah yang membuat nyaris ratusan orang meregang nyawa.
Sementara ribuan suporter lainnya mengalami luka-luka akibat bentrok suporter yang pecah di tengah pertandingan sedang berlangsung.

Diawali dengan invasi suporter Al-Masry ke tribun suporter lawan, selain itu mereka juga menyerbu lapangan yang dipenuhi para pemain kedua kubu.
Usut punya usut, kerusuhan yang terjadi bukan dendam antarsuporter, pemicu tragedi ini justru berasal dari pihak kepolisian.
Banyak yang menyebut jika penyebab kerusuhan disebabkan karena situasi politik, tuduhan terhadap pihak kepolisian dan angkatan bersenjata.

Kedua pihak tersebut dinilai telah melakukan konspirasi untuk memberi hukuman terhadap suporter Al-Ahly, karena sikap kritis terhadap kedua pihak tersebut usai revolusi Mesir.
Ultras Ah-Ahly merupakan salah satu kelompok masyarakat yang disebut paling vokal menyuarakan seruan untuk menjatuhkamn rezim Hosni Mubarak. Mereka termasuk dalam golongan seperti Ikhwanul Muslimin.
Jurnalis James M. Dorsey lewat artikel yang diterbitkannya menilai adanya situasi janggal yang sudah berlangsung lama.
Baca Juga: Bungkam Palmeiras, Al Ahly Raih Peringkat Ketiga Piala Dunia Antarklub
Mulai dari tidak adanya screening dari pihak keamanan yang ketat terhadap suporter sebelum masuk stadion, kemudian pembiaran pembentangan spanduk provokatif.
Selain itu banyak ujaran kebencian disertai ancaman pembunuhan dari suporter Al-Masry terhadap dan Al-Ahly, namun hal itu juga dibiarkan pihak keamanan.

Secara tiba-tiba, pengadilan Mesir kemudian memberi hukuman terhadap 73 terdakwa yang terdiri dari petugas polisi, ofisial klub Al-Masry.
Menariknya, 11 orang suporter Al-Masry menjadi korban atas tragedi tersebut setelah dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan.
[Eko Isdiyanto]