Hal ini lantaran selama 27 musim berlangsung JSL menarik minat sebanyak 9.739.110 penonton, rata-rata 3.972 per pertandingan.
Memasuki era 1980-an, sepak bola Jepang lebih hidup setelah AFC menghidupkan kompetisi antar klub Asia, yang mulai berlangsung 1967, namun sempat disuntik mati pada 1972 dan 1984.
Di kompetisi Liga Champions Asia ini, tim Jepang pertama kali meraih gelar melalui klub Furukawa Electric--cikal bakal klub JEF Ichihara yang saat ini main di J-League.
Titik balik perubahan sepak bola Jepang ke arah lebih maju sebenarnya terjadi pasca 26 Oktober 1985. Di tanggal itu, Jepang dikalahkan oleh Korsel di kualifikasi Piala Dunia 1986.
PSSI-nya Jepang, JFA saat itu langsung ambil langkah cepat dengan mencoba membuat olahraga ini jadi lebih profesional.
Salah satu langkah yang diambil ialah penerapan lisensi profesional untuk pemain yang ingin main di Liga Jepang. Sebelumnya, tim di JSL diberi kebebasan untuk memainkan pemain meski bukan pemain profesional.

Selain itu klub-klub di Liga Jepang pada 1987 diberi kebebasan untuk menerapkan kontrak profesional kepada setiap pemain.
Langkah ini terbukti ampuh meningkatkan kualitas sepak bola Jepang. Bagi orang Jepang, sepak bola mereka maju berkat tangan dingin pengurus JFA di era 80-an seperti Naganuma Ken, Murata Tadao, Okano Shunichir dan Kawabuchi Sabur.
Mereka ini juga yang jadi penggagas berdirinya J League, yang mana menjadi salah satu dari tiga proyek besar JFA untuk memajukan sepak bola Jepang. Menariknya target utama mereka di era 80-an ialah bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia dan itu terjadi pada 2002.
Baca Juga: Daftar Peraih AFC Annual Awards 2023: PSSI dan Timnas Indonesia Tanpa Penghargaan!
Sejak dimulainya J-League pada Mei 1993, kucuran dana dan publisitas menjadi kunci. Beberapa pengamat Jepang memprediksi, J-League di awal kemunculannya mendapat kucuran dana mencapai 20 miliar euro.