Apalagi, dua negara tersebut otomatis akan mendapat dukungan penuh dari suporter lokal, menciptakan ketidakseimbangan atmosfer pertandingan.
Bukan hanya itu, faktor keamanan kini menjadi perhatian utama. Ketegangan antara Iran dan Israel telah menyebabkan jatuhnya korban sipil di wilayah Teheran dan sekitarnya.
Rentetan serangan udara serta rudal membuat Timur Tengah menjadi zona yang tidak stabil untuk menyelenggarakan event olahraga internasional.
Apabila konflik ini terus bereskalasi hingga menjelang Oktober 2025, maka penyelenggaraan pertandingan di kawasan Teluk bisa menjadi risiko besar—baik bagi pemain, ofisial, maupun penonton.
Salah satu opsi yang diajukan pihak yang tidak senang dengan keputusan AFC ini adalah memindahkan seluruh pertandingan ke negara netral yang lebih stabil secara politik dan aman secara geografis.
Tekanan dari publik juga mulai meningkat. Di media sosial, banyak netizen menyerukan agar Qatar dan Arab Saudi bertukar tempat untuk menjamin keadilan kompetitif. Namun hal itu belum menyentuh isu keamanan yang jauh lebih mendesak saat ini.
FIFA pun didesak tidak hanya fokus pada aspek logistik dan keuntungan komersial, melainkan harus mengutamakan keselamatan seluruh pihak.
Pelajaran dari kasus Graham Arnold seharusnya menjadi sinyal peringatan bahwa sepak bola tidak bisa lepas dari dinamika geopolitik.
Apabila konflik bersenjata terus berlanjut dan organisasi sepak bola dunia gagal mengantisipasi dampaknya, bukan tidak mungkin Ronde 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia justru menjadi titik kritis yang mengganggu jalannya kompetisi secara menyeluruh.
Baca Juga: Bukan Shin Tae-yong! China Tunjuk Eks Pelatih Marko Simic sebagai Caretaker
Kontributor : Imadudin Robani Adam