Suara.com - Di tengah hiruk pikuk persiapan musim baru, sebuah badai kecil menerpa klub Eredivisie, FC Twente. Nama bek andalan Timnas Indonesia, Mees Hilgers, secara mengejutkan dicoret dari skuad utama.
Padahal, ia fit, masih terikat kontrak, dan siap bermain. Arsitek di balik keputusan kontroversial ini adalah sang pelatih kepala, Joseph Oosting.
Keputusan ini bukan sekadar rotasi pemain biasa. Ini adalah sebuah pernyataan sikap dari seorang pelatih yang rekam jejaknya memang diwarnai sejumlah kontroversi.
Joseph Oosting, pria kelahiran 29 Januari 1972, seolah mengirim pesan dingin kepada seluruh skuadnya, dan pesan itu kini bergema hingga ke telinga para penggemar sepak bola di Indonesia.
Nasib Mees Hilgers kini digantung oleh kebijakan tangan besi Oosting. Pemain bertahan berusia 24 tahun itu, yang musim lalu menjadi salah satu pilar di lini belakang Twente, kini harus berlatih terpisah.
![Senyum Mees Hilgers di Tribun, Tapi Masa Depannya di FC Twente Suram [Dok Tubantia]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/20/31281-mees-hilgers.jpg)
Dalih yang digunakan sang pelatih pun terdengar begitu tegas dan tanpa kompromi, menuding sang pemain sudah tidak memiliki hati untuk klub.
"Saya hanya ingin bekerja dengan pemain yang ingin bermain untuk FC Twente," ujar Oosting dalam sebuah wawancara yang dinukil dari Voetbalinternational.
Pernyataan singkat itu sontak membuka kotak pandora. Publik, terutama suporter Timnas Indonesia, bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di ruang ganti FC Twente? Apakah ini murni soal motivasi, atau ada konflik personal yang sengaja ditutupi rapat-rapat oleh manajemen klub?
Bagi mereka yang mengikuti perjalanan karier Oosting, keputusan ini mungkin tidak terlalu mengejutkan.
Baca Juga: Bursa Hampir Tutup, Mees Hilgers Masih Belum Pindah, FC Twente Rugi Bandar
Pola kepemimpinan yang keras dan tak segan berkonflik seolah menjadi ciri khasnya. Sebelum mendarat di FC Twente pada Juli 2023, Oosting pernah menorehkan jejak serupa di klub-klub sebelumnya.
Saat menukangi FC Groningen, misalnya, kariernya berakhir dengan pemecatan.
Bukan hanya karena serangkaian hasil buruk yang membuat tim terpuruk, tetapi juga karena adanya laporan ketegangan yang serius antara dirinya dengan jajaran manajemen klub.
Ia dianggap gagal menciptakan harmoni yang dibutuhkan untuk mengangkat performa tim.
Cerita berbeda namun dengan benang merah yang sama terjadi di FC Emmen. Di satu sisi, ia adalah pahlawan yang sukses membawa tim promosi ke Eredivisie.
Namun di sisi lain, gaya kepemimpinannya dikritik habis-habisan. Ia disebut sebagai sosok yang minim komunikasi, baik kepada para pemain maupun staf pelatih lainnya, menciptakan jarak yang tak perlu di dalam tim.
Kini, pola itu seolah berulang di FC Twente dengan Mees Hilgers sebagai "korban" terbarunya.
Keputusan untuk menyingkirkan pemain penting tanpa alasan performa yang jelas menambah panjang daftar kontroversi yang melekat pada nama Joseph Oosting.
Para pengamat sepak bola di Belanda mulai mempertanyakan kebijaksanaannya. Apakah membuang aset berharga seperti Hilgers adalah langkah yang tepat demi menegakkan egonya? Ataukah ini sebuah strategi kejam untuk memaksa sang pemain segera angkat kaki di bursa transfer?
Apapun alasannya, situasi ini menjadi pengingat bahwa di balik taktik dan strategi di lapangan hijau, ada dinamika manusia yang seringkali lebih rumit.
Joseph Oosting mungkin adalah pelatih dengan visi yang jelas, tetapi caranya dalam mengelola manusia kini berada di bawah sorotan tajam.
Kontributor: M.Faqih