- Derby d’Italia bukan sekadar laga sepak bola, melainkan benturan identitas budaya dan ekonomi
- Rivalitas Juventus dan Inter dipengaruhi sejarah panjang, termasuk kontroversi dan skandal
- Fan culture kedua tim lahir dari konteks sosial-ekonomi yang berbeda dan terus memengaruhi atmosfer derby
Suara.com - Julukan Derby dItalia diperkenalkan pertama kali oleh jurnalis Gianni Brera tahun 1967.
Istilah itu bukan sekadar soal dua klub besar bersaing, tapi juga karena Juventus dan Inter berasal dari dua provinsi dan wilayah yang punya perbedaan identitas kuat, Piedmont (Juventus) dan Lombardia (Inter).
Keduanya menjadi representasi budaya dan ekonomi yang berbeda di Italia Utara, dan itu mempertegas rivalitas mereka lebih dari sekadar lapangan.
Fans dari kedua klub membawa nuansa lokal, kebanggaan kotanya, dan seringkali pandangan politik juga ikut terbawa.
Perbedaan latar belakang inilah yang ikut membentuk karakter fans kedua tim hingga sekarang.

Juventus: Warisan Industri dan Disiplin
Juventus lahir di Turin, kota yang jadi pusat industrialisasi Italia.
Nama besar Fiat dan geliat pabrik otomotif membuat identitas kota ini lekat dengan kelas pekerja.
Suporter Juve pada masa awal mayoritas adalah buruh pabrik, teknisi, dan keluarga mereka.
Nilai kerja keras, disiplin, dan kolektivitas tercermin dalam dukungan mereka.
Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain Juventus vs Inter Milan: Striker Baru Siap Unjuk Gigi
Namun, ada twist menarik. Juventus dimiliki keluarga Agnelli, salah satu dinasti bisnis paling berpengaruh di Italia.
Jadi, di satu sisi ada basis fans kelas pekerja, tapi di sisi lain ada citra klub elit dengan koneksi politik dan ekonomi kuat.
Hasilnya? Juventus berkembang jadi klub dengan fanbase paling luas di Italia, melampaui batas regional, karena identitasnya dianggap mewakili ambisi nasional, klub yang stabil, sukses, dan “institusional.”
Inter Milan: Kosmopolitan dan Terbuka
Beda dengan Juve, Inter Milan lahir di jantung ekonomi modern Italia, Milan.
Kota ini sejak lama dikenal sebagai pusat perdagangan, mode, dan finansial.
Dari sinilah lahir kultur kosmopolitan dan gaya hidup urban yang melekat ke masyarakat Lombardia.
Inter bahkan menegaskan identitas global sejak awal lewat namanya, Internazionale.
Klub ini sejak lama terbuka untuk pemain asing, berbeda dengan rival sekota AC Milan yang dulu lebih nasionalis.
Fan culture Inter pun terbentuk dari semangat kota, ambisius, terbuka pada pengaruh luar, dan bangga dengan citra modern.
Suporter Inter sering menganggap klub mereka sebagai simbol gaya hidup urban Milan yang “maju” dan lebih global dibanding klub lain.
![Inter Milan Keok dari Udinese, Legenda Sindir: Masalahnya Sama Seperti 5 Tahun Terakhir [Instagram Inter Milan]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/09/01/54693-inter-milan.jpg)
Benturan Identitas di Tribun
Jadi, ketika fans Juventus dan Inter bertemu, yang terjadi bukan hanya adu nyanyi di tribun.
Ada benturan dua latar belakang: fans Juve dengan warisan kerja keras kelas industri dan identitas “nasional,” melawan fans Inter dengan semangat kosmopolitan Milan yang percaya diri sebagai pusat modernitas Italia.
Inilah yang membuat Derby d’Italia selalu terasa lebih dalam.
Pertandingan ini bukan sekadar soal tiga poin, tapi juga duel dua budaya yang terbentuk dari sejarah ekonomi kota masing-masing.
Skor “Mimpi Buruk” dan Rekaman Besar yang Jarang Terlupakan
- Salah satu skor terbesar dalam sejarah Derby d’Italia adalah Juventus 9-1 Inter pada 10 Juni 1961. Inter menurunkan tim junior sebagai protes setelah keputusan liga soal invasi fans di laga sebelumnya dibatalkan ulang.
- Pada laga itu, striker Omar Sivori mencetak 6 gol dalam satu pertandingan derby — angka yang sangat langka.
- Inter juga pernah menang telak 6-0 atas Juventus, tapi skor tersebut sudah sangat lama dan semakin dilupakan seiring waktu.
Skandal dan Kontroversi yang Mengguncang Rivalitas
- Calciopoli 2006 jadi salah satu momen yang memperparah ketegangan antara kedua klub. Juventus dijatuhi sanksi, termasuk degradasi, dan gelar Scudetto 2005/06 diberikan kepada Inter.
- Contoh kontroversi klasik: musim 1997/98, di laga krusial antara Juventus dan Inter, wasit saat itu tidak memberi penalti atas pelanggaran Mark Iuliano terhadap Ronaldo. Keputusan itu membantu Juventus meraih kemenangan 1-0 dan kemudian gelar juara.