Aming dan Isu Sensitif di Filmnya

Sabtu, 10 Oktober 2015 | 09:01 WIB
Aming dan Isu Sensitif di Filmnya
Aktor Aming. [suara.com/Nanda Hadiyanti]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Aktor Aming Sugandhi mulai beralih menjadi seorang sutradara. Baru-baru ini komedian jebolan Extravaganza itu berkolaborasi dengan Ria Irawan membuat film layar lebar berjudul Gila Jiwa.

Dalam film itu Aming memilih tema yang cukup sensitif. Film itu berkisah seorang anak laki-laki yang dibesarkan seperti anak perempuan. Baginya, siapapun bebas memaknai film tersebut sesuai versi masing-masing. Justru itulah tujuannya, untuk bermain persepsi dalam satu cerita.

Berikut wawancara Suara.com dengan Aming seputar genre film dan ketertarikannya mengangkat tema yang membuat orang bermain persepsi.

Kenapa memilih tema film yang membuat berpersepsi liar?

Saya bikin karya yang jujur saya tau dan film itu dibuat menggambarkan sesuatu yang sudah terjadi atau belum terjadi.  Seenggaknya bisa mencegah jangan seperti itu. Kalau saya jadi film maker beneran saya punya tanggung jawab memberikan pembelajaran untuk orang memaknai film yang saya buat. Saya sudah tau dengan apa yang saya buat.

Kenapa tiba-tiba jadi sutradara dengan tema film seperti itu?

Selama ini kan Aming sounds like speaking bullshit. Tapi, Alhamdulillah semua proyek saya terlaksana. I can make it real. Mulai dari psycho diva, direct film segala apa saya ambil. Yang pasti dalam hidup saya mau buat karya yang manfaat buat orang banyak menginsiprasi aja sih udah cukup.

Mau bikin bikin apa lagi?

You know lah my kind of movie. Kayak kemarin Gila Jiwa deh. Yang seperti itu lah. Seru nggak?

Seru dan menyentil. Tapi apakah Aming akan terus mengangkat tema humanis dan sosial seperti itu?

Ya, memang kayak gitu kan realita di masyarakat. Memang ada. Film itu kan mungkin ada yang bilang, apaan sih Ming kok kesannya seperti memberikan pemahaman tentang orientasi seksual yang nggak seharusnya.

Tapi kan nggak. Ternyata si anak itu walaupun didandanin seperti itu dia tetap suka dengan lawan jenis yang sebenarnya. Di situ kalian harus liat bahwa appearence packaging seseorang nggak bisa dilihat dipatok untuk menentukan seksual orientasi seseorang.

Pesan yang mau disampaikan?

Menjadi spesial atau istimewa itu bukan mereka yang salah kan. Banyak genius lain seperti Einstein dicap aneh atau Mozart sekalipun yang tuli bisa menghasilkan masterpiece. Jadi aneh nggak harus merasa beda. Mungkin negara kita harus mulai belajar menerima hal seperti itu. Kembali lagi ke Bhineka Tunggal Ika kan walau beda-beda kita tetap satu juga.

Apakah ini movement seorang Aming bersuara lewat film?

Ya. Memang pastinya ini jadi movement untuk proyek-proyek aku. Harusnya memang jadi movement untuk membuat yang berbeda.

Apakah ini akan terus mewakili Aming untuk bersuara?

Gue lebih... bukan idealis sih. Tapi jujur saat ini gue bikin film-film yang gue tau. Kita kan perlu belajar banyak untuk tahu hal lain. Kalau pun gue akan ambil genre lain kan berarti gue harus belajar misal how to make an action movie, horor movie.

Tapi awal-awal ya gue akan bikin film yang gue tau dulu. Kalaupun nanti jadi spesialisasi bikin film seperti ini, kenapa nggak kalau jadi manfaat buat orang.

Kalau film seperti ini dianggap tidak bagus?

Nggak ada masalah. Saya pokoknya menghargai keberagaman. Just go on. Gue nggak judging ya, tapi kan film bagus akan muncul kalau ada film kurang bagus. Gimana kita mau bikin yang bagus kalau nggak liat yang nggak bagus. Kan ada komparasinya dong. Gimanapun kita ngecap film itu bagus tau nggak, ya back to taste aja. Tiap orang punya selera beda.

Inti dari keputusan membuat film bergenre seperti ini?

Gue akan balik kepada sebuah conclution, whatever it is as long as you get the value from something just do it.

Udah ada sutradara lain yang menghubungi karena ingin bikin film seperti ini?

Belum ya, mungkin karena baru Gila Jiwa. Lagian Gila Jiwa itu semacam proyek ah ternyata bisa juga ya bikin film begini.

Buat yang mau bikin tema kayak Aming, tapi takut. Bagaimana?

Dari beberapa film maker saya belajar bahwa yang namanya bikin film nggak melulu idealisme, pasti tetep mau laku. Kita boleh bikin idealis tapi tetap mikirin bisa dijual ngga. Ideal saya tetep bisa dijual. Karena ada tanggung jawab ke investor. Saya bikin film seperti ini juga dengan pertimbangan banyak. Jadi ya itu balik lagi harus ideal antara keinginan dan pasar.

Nggak takut dengan penonton Indonesia?

Nggak lah ya. Ya ini balik lagi kenapa orang sini banyak yang pada akhirnya males nonton film lokal. Mereka juga udah cerdas, mereka udah bisa compare yang bagus seperti apa. Kalau dibanding dengan film luar, nggak usah Hollywood, Asia kayak Thailand deh, mereka bikin film light ringan tapi serius. Bagus kan. Yang penting gitu aja dulu, bikin dengan hati dan tetap bisa di jual.

Next film katanya tentang seks dan politik?

Masih jauh banget tapi udah ada draft. Yang pasti nggak akan cheesy lah nggak akan mengeksplor vulgarism. Nggak eksplor pornografi, nggak lah. Saya lebih ke bermain persepsi.

Kapan?

Tahun depan. Karena masih banyak yang antri. Tapi mudah-mudahan satu-satu terlaksana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI