"Dari situ, bisa kita lihat perbedaannya. Dengan manual system dan online system, banyakan mana dapatnya," kata Badai
Sistem direct license juga Badai anggap mempermudah tugas penyelenggara konser untuk membayar royalti performing rights bagi para pencipta lagi.
![Badai eks Kerispatih. [Tiara Rosana/Suara.com]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/11/14/88574-badai-eks-kerispatih.jpg)
"Terus terang, artis itu terjadwal. Satu bulan mainnya berapa belas kali, berapa puluh kali. Tempatnya ada, jelas. Sementara EO kan berganti-ganti. Jadi, peluang untuk mendapatkan pemasukan itu menurut saya lebih besar. Pencipta lagu pun, kalau mau dapat, langsung bisa," jelas Badai.
Kalau sistem direct license benar-benar diterapkan nanti, Badai yakin tidak akan ada lagi masalah pendistribusian royalti performing rights yang tidak merata.
"Makanya yang saya bilang, ketika kami mau berjuang ke depan ini, kami mau berjuang untuk keseluruhan. Di mana semua pencipta lagu tidak ada lagi yang ngeluh dapat cuma Rp5 juta, yang dapat cuma Rp2 juta, tiba-tiba ada yang dapat ratusan juta," ucap Badai.
Transparansi LMK dalam mendistribusikan uang royalti performing rights ke para pencipta lagu memang jadi isu lain di balik masalah pemenuhan hak mereka.
Oleh Kunto Aji, LMK bahkan sempat digambarkan layaknya wasit curang dalam sebuah pertandingan sepak bola, yang merugikan salah satu tim.
Masalah utama kisruh perizinan lagu sendiri bermuara dari penerapan dua pasal tumpang tindih dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Baca Juga: Badai Eks Kerispatih: Terima Puluhan Juta Royalti, Tapi Data Nol Besar!