Suara.com - Aaliyah Massaid dan Thariq Halilintar belum lama ini menyelenggarakan acara mitoni atau tasyakuran kehamilan tujuh bulan yang berlangsung meriah.
Dalam acara tersebut, Aaliyah tampil memukau mengenakan kebaya Jawa berwarna biru dengan sentuhan bordir dan payet yang elegan, dipadukan dengan rok batik bernuansa gelap.
Penampilannya kian memancarkan kesan anggun khas perempuan Jawa yang tengah merayakan momen sakral dalam kehidupannya sebagai calon ibu.
Kebaya yang dikenakan Aaliyah merupakan rancangan desainer kenamaan Asky Febrianti, yang juga pernah merancang busana untuk berbagai selebriti Tanah Air.
Namun, alih-alih hanya menuai pujian, penampilan putri kedua Reza Artamevia dan almarhum Adjie Massaid ini justru mengundang sejumlah komentar sinis dari netizen.
Salah satu komentar yang cukup ramai diperbincangkan adalah tentang keputusannya untuk tidak mengenakan hijab dalam acara tersebut.
Rupanya sebagian orang menganggap acara mitoni sebagai momen religius karena biasanya disertai pengajian atau doa bersama.
Namun benarkah seorang perempuan Muslim diwajibkan berhijab dalam acara mitoni? Bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi tujuh bulanan ini?
Hukum Mitoni dalam Islam
Baca Juga: Beri Pesan ke Aaliyah Massaid saat Mitoni, Gaya Bicara Thariq Halilintar Tuai Sorotan
Mitoni atau tingkeban adalah tradisi Jawa yang dilakukan saat usia kehamilan memasuki bulan ketujuh.
Tradisi ini bertujuan memanjatkan doa bagi keselamatan ibu dan janin, serta sebagai bentuk syukur atas anugerah kehidupan baru yang akan segera lahir.
Kata "mitoni" sendiri berasal dari kata "pitu," yang berarti tujuh dalam bahasa Jawa.
Dalam pelaksanaannya, mitoni biasanya diisi dengan doa bersama, pembacaan ayat suci Al-Qur'an, bahkan menyantuni anak yatim.
Meski kegiatan tersebut bernuansa religius, mitoni pada dasarnya adalah sebuah adat atau budaya lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Tidak ada ketentuan dalam syariat Islam yang secara eksplisit mewajibkan pelaksanaan mitoni, apalagi mengatur soal busana apa yang harus dikenakan oleh ibu hamil dalam acara tersebut.
Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Dr. Arrazy Hasyim, menegaskan bahwa hukum suatu tradisi dalam Islam tidak dilihat dari namanya, melainkan dari isi dan substansi acaranya.
Selama kegiatan yang dilakukan bernilai positif, seperti tasyakuran, doa, dan amal kebaikan, maka acara seperti mitoni tergolong dalam tradisi yang baik dan dibolehkan dalam Islam.
Bolehkan Tidak Berhijab Saat Mitoni?
Kritik yang ditujukan kepada Aaliyah Massaid karena tidak mengenakan hijab dalam acara mitonisebenarnya lebih mencerminkan persepsi sebagian masyarakat tentang penampilan yang dianggap "ideal" dalam konteks keislaman.
Padahal, penggunaan hijab adalah bentuk ketaatan individu kepada Allah yang sifatnya pribadi dan tidak bisa dinilai hanya dari satu momen atau penampilan luar semata.
Sebagaimana ditegaskan oleh Ustaz Arrazy, jika isi dari acara tujuh bulanan adalah doa-doa yang positif dan tidak mengandung unsur syirik, maka tradisi tersebut bukan hanya dibolehkan, tapi juga dianjurkan.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Nabi, Ibnu Mas’ud, disebutkan bahwa tradisi yang membawa maslahat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diterima dan bahkan dikembangkan.
Oleh karena itu, mengenakan hijab dalam acara mitoni bukanlah sebuah keharusan, terlebih jika acara tersebut lebih bersifat budaya dan bukan ritual wajib dalam Islam.
Tentu saja, bagi Muslimah yang memang berhijab dalam kehidupan sehari-hari, tetap mengenakan hijab dalam setiap kesempatan adalah bentuk konsistensi.
Namun, bagi mereka yang belum mengenakan hijab, tidak adil rasanya jika satu momen dijadikan dasar untuk menghakimi tingkat keimanan seseorang.
Alih-alih fokus pada penampilan luar, esensi dari acara mitoni seharusnya lebih ditekankan pada niat baik untuk memanjatkan doa dan bersyukur atas kehamilan yang telah mencapai usia tujuh bulan.
Acara ini menjadi momentum berharga bagi keluarga untuk saling mendoakan, mempererat hubungan, dan menanamkan nilai-nilai keimanan serta kebersamaan.
Kontributor : Chusnul Chotimah