Ustaz Yahya mengatakan orang tersebut sempat mengatakan dirinya bertanggung jawab atas semua yang karam di laut dan apapun yang dimakan ikan.
"Saya tahu, semua yang karam di laut, semua yang dimakan ikan itu saya pertanggung jawabkan kata dia," katanya.
Ustaz Yahya Waloni juga dipandang orang-orang gila, karena tak seorang pun mengetahui sosok penjual ikan yang dimaksudnya.
Menurut warga, tak ada penjual ikan yan naik sepeda sambil meniup keong seperti yang digambarkan oleh Ustaz Yahya Waloni.
"Kalau orang bawa ikan di sepeda pasti bau, tapi dia enggak. Setelah habis kejadian itu, saya tanya orang kampung, katanya gak ada penjual ikan yang tiup pakai keong gitu. Jadi, orang anggap saya gila waktu itu," katanya.
Meski begitu, Ustaz Yahya yang juga tak pernah merasakan ketenangan dalam hidup akhirnya bisa merasa lebih tenang ketika bertemu penjual ikan tersebut.
Dengan penjual ikan tersebut, dirinya juga selalu diminta membaca surat Al Qadr, bahkan sebelum hafal surat Al Fatihah.

"Tapi, semasa saya hidup tak pernah saya mengalami ketenangan sewaktu saya ketemu (penjual ikan). Sebelum saa hafal surat Al Fatihah, 4 menit kita ulang ayat itu (Surat Al Qadr) dengan beliau," ujarnya.
Karena menurut penjual ikan tersebut, Ustaz Yahya Waloni ingin pindah Islam tetapi menghadapi banyak kebingungan sehingga surat tersebut disarankan untuk terus-menerus dibaca.
Baca Juga: Diakui Verrell Bramasta Sebagai Pasangan, Fuji Malu-Malu: Nanti Saya Salah Jawab
"3 kali kita jumpa, dari awal disuruh baca surat itu. Katanya, kamu mau masuk Islam tapi kamu orang yang bingung. Saya tanya, kok kamu tahu," ujarnya.
Setelah itu, Ustaz Yahya Waloni akhirnya memutuskan pindah Islam tepat di bulan Ramadhan.
"Karena, saya masuk Islam bulan Ramadhan. 17 Ramadhan, 18 saya bersyahadat," lanjutnya.
Sebagai informasi, Ustaz Yahya Waloni, tokoh yang dikenal sebagai mualaf dan pendakwah dengan latar belakang mantan pendeta, meninggal dunia pada Jumat siang, 6 Juni 2025.
Beliau wafat ketika sedang menyampaikan khutbah Jumat di Masjid Darul Falah, yang terletak di Jalan Aroepala, kawasan Minasa Upa, Kecamatan Rappocini, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Peristiwa memilukan itu terjadi di tengah-tengah penyampaian khutbah kedua.