Hal ini, tentu saja, sangat kontradiktif dengan sistem hukum nasional yang menganut pemungutan royalti secara kolektif.
"Ketentuan multi tafsir ini juga seolah-olah memungkinkan pemungutan langsung atau pembebanan tanggung jawab langsung ke pelaku pertunjukan. Hal itu tentu kontradiktif dengan sistem hukum nasional," tuturnya.
Marcell juga menyoroti posisi pelaku pertunjukan yang paling rentan dalam kisruh multi tafsir pasal-pasal ini.
"Pelaku pertunjukan ini jadi yang paling rentan apabila sistem kolektif ini tidak dipertegas melalui tafsir yang konstitusional. Mereka tidak memiliki kekuatan tawar seperti promotor, tidak memiliki otoritas mengatur teknis acara seperti EO, dan tidak memiliki otoritas perizinan seperti LMK," kata Marcell memaparkan.
"Tapi, justru mereka yang paling sering jadi sasaran tuntutan, somasi bahkan laporan pidana. Meskipun, mereka sudah beriktikad baik membayar (royalti) lewat sistem yang resmi," imbuhnya menambahkan.
Oleh karena itu, PAPPRI dan Marcell Siahaan sangat mendukung permohonan Ariel NOAH dan mereka yang tergabung dalam Vibrasi Suara Indonesia (VISI), untuk adanya penafsiran konstitusional bersyarat dalam pasal-pasal multi tafsir.
Langkah tersebut dinilai krusial, bukan hanya untuk melindungi pelaku pertunjukan, tetapi juga untuk mewujudkan iklim hukum yang adil dan sehat bagi industri musik nasional.
"Penafsiran konstitusional bersyarat dalam pasal-pasal multi tafsir, bukan hanya melindungi pelaku pertunjukan, melainkan juga menjaga otoritas dan efektivitas LMK dan LMKN, mencegah pemungutan (royalti) ganda, serta mewujudkan iklim hukum yang adil dan sehat," tutur Marcell.
Baca Juga: LMKN Minta MK Tolak Gugatan Ariel Cs, Tuding Ratusan Promotor Biang Keladi Masalah