Suara.com - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) akhirnya angkat bicara soal polemik dugaan pelanggaran hak cipta oleh restoran Mie Gacoan.
Direktur PT Mitra Bali Sukses, pemegang lisensi waralaba Mie Gacoan di Bali, I Gusti Ayu Sasih Ira, telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga memutar musik di gerai tanpa izin serta tidak membayar royalti sejak tahun 2022.
Ketua LMKN, Dharma Oratmangun mengaku pihaknya telah memberi peringatan keras sejak dua tahun lalu. Namun, peringatan itu justru diabaikan oleh pihak restoran.
"Coba bayangkan, sudah kami minta sejak tahun 2022, tapi sampai sekarang masih ngeyel," kata Dharma Oratmangun saat ditemui di kawasan Gambir, Jakarta Pusat, baru-baru ini.
![Ketua LMKN, Dharma Oratmangun dalam sebuah wawancara di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat, 23 Mei 2025. [Suara.com/Adiyoga Priyambodo]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/23/80666-ketua-lmkn-dharma-oratmangun.jpg)
Menurut Dharma, proses hukum terhadap pelaku usaha yang melanggar aturan hak cipta adalah langkah yang tepat agar ada kepastian bagi semua pihak yang terlibat.
"Ya bagus, diproses hukum supaya ada kepastian hukum untuk pemilik hak cipta dan hak terkait, juga kepastian hukum untuk franchise dari Mie Gacoan. Jadi ada kepastian hukum di situ," tutur Dharma.
Dharma Oratmangun menegaskan bahwa LMKN bersama LMK telah berulang kali mengingatkan pentingnya mematuhi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, termasuk pembayaran royalti untuk penggunaan lagu di ruang publik.
Namun, menurutnya Mie Gacoan bukan satu-satunya pihak yang abai. Dia mengungkapkan bahwa saat ini masih ada ratusan promotor dan pelaku usaha karaoke yang belum memenuhi kewajibannya membayar royalti.
"Ada lebih dari 140 promotor yang belum bayar royalti. Nanti bisa dilihat daftarnya di Mahkamah Konstitusi. Yang karaoke-karaoke itu ada lebih dari 500," ujarnya.
Baca Juga: LMKN Dukung Gugatan terhadap Mie Gacoan soal Pelanggaran Hak Cipta: Sudah Diingatkan Sejak 2022

Dia juga menegaskan bahwa langkah hukum, baik pidana maupun perdata, adalah bentuk keseriusan negara dalam melindungi hak para pencipta lagu serta pemegang hak terkait yang telah memberikan kuasa kepada LMK dan LMKN.
"Itu bagian dari menjaga hakikat hak cipta maupun hak terkait yang telah dikuasakan kepada LMK dan LMKN. Mau diproses lewat jalur perdata atau pidana, silakan saja. Masing-masing punya kajian hukumnya," uca Dharma.
Kasus ini mencuat setelah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (SELMI) resmi melaporkan PT Mitra Bali Sukses ke Polda Bali pada Agustus 2024.
Perusahaan tersebut diduga menggunakan lagu sebagai musik latar di outlet Mie Gacoan tanpa izin atau pembayaran royalti kepada pemilik hak cipta.
Penyelidikan kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan. Berdasarkan alat bukti dan proses hukum yang berjalan, direktur perusahaan ditetapkan sebagai tersangka.
Tindakan ini dianggap melanggar Undang-Undang Hak Cipta yang mengatur kewajiban pembayaran royalti atas pemanfaatan karya di ruang publik.
Jika terbukti bersalah, pelaku bisa dijerat dengan pidana maksimal empat tahun penjara dan/atau denda hingga Rp1 miliar.
LMKN berharap kasus ini bisa menjadi contoh agar pelaku usaha lain lebih taat hukum dan menghargai karya intelektual para musisi Indonesia.