Suara.com - Film terbaru Netflix, A Normal Woman, dengan cepat menjadi buah bibir satu hari setelah tayang.
Bukan tanpa alasan, di balik kisahnya tersimpan konstruksi cerdas dan elemen-elemen kunci yang menjadikannya lebih dari sekadar tontonan, melainkan sebuah pengalaman psikologis.
Film ini menelanjangi realitas pahit tentang tekanan sosial melalui karakter Milla yang diperankan oleh Marissa Anita, yang hidupnya dikendalikan ekspektasi hingga fisiknya sendiri mulai berontak.
Lantas seperti apa fakta di balik film A Normal Woman? Berikut ulasannya.
1. Ceritanya berangkat dari penyakit sosial yang nyata

Fakta pertama dan paling mendasar adalah premis film ini. A Normal Woman bukanlah fiksi murni, melainkan cerminan dari penyakit sosial yang dialami banyak orang.
Penulis naskah Andri Cung menegaskan bila dia ingin mengangkat sebuah penyakit sosial di tengah masyarakat.
"Sebenarnya cerita A Normal Woman ini kan berpusat secara generalnya pada social disease," ujarnya.
Ini adalah fakta bahwa film ini secara sadar dirancang untuk membedah fenomena people pleaser, orang yang selalu mendahulukan orang lain hingga kehilangan identitas.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Drakor Action dan Thriller Kim Nam Gil di Netflix, Terbaru Trigger
Karakter Milla adalah representasi faktual dari jutaan orang yang tidak memiliki ruang untuk menjadi dirinya sendiri di tengah tuntutan keluarga dan masyarakat.
2. Penyakit Kulit Misterius

Jangan salah mengira penyakit kulit mengerikan yang diderita Milla sebagai elemen horor murahan.
Faktanya, penyakit tersebut adalah sebuah metafora, sebuah alat naratif yang brilian untuk memvisualisasikan derita batin.
Sutradara Lucky Kuswandi memaparkan fakta ini dengan jelas.
"Tubuh kita memberikan alarm. Kayaknya ada yang tidak normal dengan cara kita menjalani our life," ujar Lucky.
Jadi, secara faktual, setiap luka di kulit Milla adalah manifestasi fisik dari tekanan mental, kecemasan, dan hilangnya jati diri. Sebuah konsep psikologis yang diwujudkan menjadi kengerian visual.
3. Setiap sudut visual adalah penjara

Kejeniusan film ini juga terletak pada fakta sinematografinya. Setiap properti dan desain ruangan memiliki tujuan.
Contoh paling kuat adalah rumah keluarga Milla. Faktanya, rumah tersebut sengaja didesain untuk menjadi penjara yang indah.
"Rumah ini tuh bentuknya harus seperti cantik tapi dingin dan bagaikan penjara. Terkesan tidak ada personality-nya Milla di situ,” ucap Lucky.
Bentuk yang kaku, warna yang dingin, dan interior yang impersonal adalah fakta visual yang secara efektif mengomunikasikan kepada penonton bahwa Milla adalah tahanan di rumahnya sendiri.
4. Alur Cerita Dibangun dari Karakter yang Rapuh Namun Kompleks

Fakta berikutnya adalah kekuatan film ini tidak terletak pada plot yang penuh kejutan, melainkan pada kedalaman karakternya.
A Normal Woman adalah studi karakter yang intens. Milla bukanlah pahlawan atau korban yang pasrah.
Ia adalah individu rapuh yang tindakannya dibentuk oleh lingkungan toxic. Setiap keputusan yang ia ambil, meski terlihat aneh, memiliki akar psikologis yang bisa dilacak.
Film ini secara faktual menunjukkan bagaimana tekanan eksternal dapat membentuk dan menghancurkan kepribadian seseorang dari dalam.
5. Pesan utama film A Normal Woman

Fakta terpenting dari film ini adalah pesannya. Ini bukan sekadar film dengan pesan klise, cintai dirimu sendiri. Pesan yang diusung lebih dalam dan mendasar dengarkan alarm tubuhmu sebelum semuanya terlambat.
Penutup
Film ini menjadi sebuah argumen bahwa healing dimulai dari mengenali sinyal-sinyal bahaya yang diberikan oleh tubuh kita.
Seperti kata Marissa sang pemeran utama, "Hidup itu harus memberi juga, jangan lupa, ke diri sendiri."
Fakta bahwa tubuh dan pikiran adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan menjadi tesis utama yang ingin disampaikan oleh A Normal Woman.