"Kami belum pernah diajak berdialog oleh otoritas terkait mengenai mekanisme penarikan royalti ini," tegasnya.
Menurut Wolini, kebijakan ini menambah lapisan beban bagi para pelaku usaha yang sudah terimpit oleh berbagai kewajiban.
Selain harus membayar pajak daerah dan pusat yang cukup tinggi, kini mereka dihadapkan pada pungutan royalti lagu.
Kombinasi beban ini, menurutnya, sangat memberatkan iklim usaha pariwisata di NTB.
Oleh karena itu, PHRI secara tegas mendorong adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang menjadi dasar hukum penarikan royalti, karena dinilai sudah tidak relevan dan membebani pelaku usaha.