Suara.com - Film animasi Merah Putih: One For All menjadi buah bibir warganet setelah mendapat hujatan massal.
Skor 1/10 di IMDb, kritik pedas di media sosial, hingga label aib nasional membuat film ini seolah ditakdirkan gagal total.
Dengan kualitas animasi yang disebut-sebut setara tugas mahasiswa tingkat awal, banyak orang mengira kursi bioskop bakal kosong melompong.
Namun kenyataannya, film ini tetap ada penontonnya. Tidak meledak, memang. Tapi fakta bahwa masih ada orang yang rela membeli tiket untuk menontonnya.
Kegagalan monumental ini memunculkan pertanyaan menarik, kenapa film yang dicap buruk justru tetap mengundang penonton?

Penasaran seperti apa faktanya? Berikut ulasannya.
1. Fenomena Hate-Watching: Rasa Penasaran yang Tak Terbendung
Manusia punya kecenderungan aneh tertarik pada hal-hal buruk. Sama seperti orang yang tak bisa mengalihkan pandangan dari kecelakaan di jalan, begitu juga dengan film ini.
Skandal seputar anggaran Rp6,7 miliar yang dinilai tak sebanding dengan hasilnya justru menjadi magnet untuk sebagian warganet ingin menontonnya.
Baca Juga: Putra Hanung Bramantyo Bikin Film Kemerdekaan Pakai AI, Dibandingkan dengan Merah Putih: One for All
Banyak penonton sengaja datang ke bioskop hanya untuk membuktikan sendiri, seberapa buruk film ini.
Fenomena yang disebut hate watching ini membuat orang rela mengeluarkan uang bukan untuk dihibur, melainkan demi menjadi saksi dari sesuatu yang dianggap gagal total.
2. Penonton yang Tidak Tahu Menahu
Tidak semua orang rajin cek rating di IMDb atau membaca ulasan Twitter sebelum ke bioskop.
Ada banyak penonton awam yang sekadar ingin hiburan keluarga di akhir pekan.
Judul Merah Putih serta poster bergambar anak-anak bisa memberi kesan film ini ramah dan edukatif.
Bagi sebagian orang tua, ini terlihat sebagai tontonan yang aman untuk anak-anak tanpa tahu bahwa kualitas produksinya tengah jadi bulan-bulanan di internet.
3. Meme dan Lelucon Kolektif
![Tangkap layar film Merah Putih: One For All, yang mendapat komentar negatif dari masyarakat. [YouTube]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/08/13/82324-film-merah-putih-one-for-all.jpg)
Film jelek sering kali melahirkan bahan candaan tanpa habis. Dari dialog kaku, animasi kaku, hingga adegan yang tak masuk akal semuanya bisa jadi konten meme di media sosial.
Menonton film ini lalu menertawakannya bersama teman bisa menjadi ritual seru.
Justru di sinilah daya tariknya, pengalaman menonton yang buruk berubah jadi hiburan sosial. Tontonan gagal berubah menjadi bahan tertawaan kolektif.
4. Efek Viral
Di era media sosial, tidak ikut membicarakan sesuatu terasa seperti ketinggalan kereta.
Film Merah Putih: One For All jadi trending bukan karena prestasi, melainkan kontroversi.
Bagi sebagian orang, membeli tiket lalu menonton film ini adalah cara untuk bisa ikut nimbrung di percakapan online.
Mereka ingin punya bukti autentik ketika berkomentar, bukan sekadar ikut-ikutan.
5. Nasionalisme yang Menjebak
Meski dihujat, film ini tetap membawa embel-embel Merah Putih. Ada penonton yang menaruh harapan bahwa film ini bisa menanamkan semangat patriotisme untuk anak-anak.
Sayangnya, niat baik itu justru berbalik jadi kekecewaan setelah melihat kualitas animasi yang jauh dari ekspektasi.

Jumlah penonton Merah Putih: One For All sama sekali bukan bukti apresiasi.
Sebaliknya, itu cerminan rasa penasaran, ketidaktahuan, hingga hasrat untuk menjadi bagian dari lelucon komunal.
Fenomena ini memberi pelajaran keras bagi industri film Indonesia: kualitas tetap nomor satu. Sebab perhatian publik yang lahir dari kegagalan bukanlah perhatian yang diidamkan oleh kreator mana pun.