- Tengah viral soal cerita mistis "Wayang Kulit Manusia" yang diungkap video YouTube Ghost Ranger Indonesia.
- Video tersebut menelusuri jejak misteri sebuah artefak yang konon terbuat dari material yang tak lazim: kulit manusia.
- Warganet beramai-ramai membahas kebenaran mitos ini, memicu perdebatan antara skeptisisme ilmiah dan kepercayaan akan hal-hal gaib.
Suara.com - Lereng Gunung Merbabu yang biasanya tenang kini menjadi pusat perhatian jagat maya.
Bukan karena keindahan alamnya, melainkan karena sebuah legenda kelam yang kembali mencuat: "Wayang Kulit Manusia."
Video eksplorasi berdurasi hampir satu jam yang diunggah oleh kanal YouTube Ghost Ranger Indonesia sukses menghebohkan publik, menelusuri jejak misteri sebuah artefak yang konon terbuat dari material yang tak lazim: kulit manusia.
Sejak diunggah, video tersebut langsung meraup ratusan ribu penayangan dalam kurun waktu 48 jam dan cuplikannya viral di berbagai platform media sosial seperti TikTok, X, dan Instagram Reels.
Adegan pencarian di tengah malam yang mencekam, interaksi dengan penduduk lokal yang penuh teka-teki, serta sentuhan sinematik horor yang kuat berhasil menciptakan atmosfer seram dan memicu rasa penasaran publik.
Warganet beramai-ramai membahas kebenaran mitos ini, memicu perdebatan antara skeptisisme ilmiah dan kepercayaan akan hal-hal gaib.
Dalam narasi yang dibangun oleh tim Ghost Ranger, mereka mendaki Lereng Merbabu, Jawa Tengah, untuk mencari lokasi yang dipercaya menyimpan wayang kulit legendaris ini.
Penelusuran mereka bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga penyelaman ke dalam kepercayaan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.
Baca Juga: Jual Janin ke Iblis Demi Cuan, Ini Alasan Gila Karakter Agla dan Donny Alamsyah di Tumbal Darah
Cerita tentang dalang yang "menyatu dengan bayangan" menjadi inti dari kengerian yang ditawarkan, bukan hanya sebagai kisah seram, melainkan juga sebagai simbol filosofis tentang hubungan manusia dengan sisi gelap dirinya.
Namun, di tengah gelombang viralitas dan horor yang menyelimuti, dunia akademis menawarkan perspektif yang berbeda.
Riset yang dilakukan oleh Otok Herum Marwoto pada tahun 2012, yang diterbitkan dalam jurnal "Wayang Kulit Manusia: Antara Mitos dan Kenyataan," dengan tegas membantah kebenaran material wayang tersebut.
![Wayang Kulit Palembang [wongkito.co]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2022/11/05/59201-wayang-kulit-palembang-wongkitoco.jpg)
Penelitian Marwoto yang melibatkan uji laboratorium membuktikan bahwa semua wayang yang pernah dianalisis terbuat dari kulit binatang, bukan kulit manusia.
Fakta ilmiah ini seolah menjadi penawar rasionalitas di tengah hiruk pikuk spekulasi mistis.
Meskipun demikian, mitos tentang Wayang Kulit Manusia tetap mengakar kuat di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana sebuah legenda, meskipun telah dibantah secara ilmiah, memiliki daya tahan yang luar biasa dalam memori kolektif.
"Cerita seperti ini bukan cuma soal takut, tapi soal rasa ingin tahu," ujar Dwi Antoro, seorang peneliti budaya dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Ia menambahkan, "Wayang Kulit Manusia adalah refleksi: seberapa dalam manusia berani melihat bayangannya sendiri."
Pernyataan ini menegaskan bahwa mitos bukan sekadar cerita kosong, melainkan cerminan dari pergulatan batin dan spiritual manusia.
Lonjakan minat terhadap legenda ini juga menjadi bukti nyata bagaimana algoritma digital dan kecepatan informasi mampu menghidupkan kembali mitos-mitos lama ke dalam ruang budaya populer.
Dulu, legenda ini mungkin hanya dikenal di kalangan terbatas atau melalui cerita lisan. Kini, dengan sentuhan visualisasi digital dan diseminasi masif, ia mampu mencapai audiens yang jauh lebih luas.
Maulida Afifa Tri Fahyani dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta menjelaskan bahwa pada awalnya, legenda ini bukan kisah tentang darah dan teror, melainkan simbol spiritual tentang upaya manusia untuk memahami bayangannya sendiri, sebuah perjalanan introspeksi yang kini dibalut dengan kemasan horor modern.
Fenomena "Wayang Kulit Manusia" ini menjadi contoh menarik tentang bagaimana mitos, ilmu pengetahuan, dan media digital saling berinteraksi.
Mitos terus hidup, beradaptasi dengan zaman, dan menemukan cara baru untuk menarik perhatian, bahkan ketika berhadapan dengan bukti ilmiah yang menolaknya.
Lereng Merbabu mungkin menyimpan banyak cerita, tetapi yang satu ini telah berhasil melompat dari kegelapan masa lalu ke dalam sorotan terang budaya digital.