Liputan Khas: Ilmuwan Beberkan Bahaya Tersembunyi Polusi Udara

Senin, 17 Juni 2019 | 08:10 WIB
Liputan Khas: Ilmuwan Beberkan Bahaya Tersembunyi Polusi Udara
Greenpeace melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Kamis (28/9). (Dok. Suara.com)

Suara.com - Ilmuwan Beberkan Bahaya Tersembunyi Polusi Udara

Asap knalpot, debu jalanan, asap rokok, hingga asap dari pabrik dan pembangkit tenaga listrik sudah jadi makanan sehari-hari warga ibu kota. Ya, polusi dan pencemaran udara seakan tak bisa dipisahkan dari kehidupan metropolitan di kota Jakarta.

Padahal, ancaman polusi udara untuk kesehatan bukan omong kosong. Ilmu sains sudah membuktikan sederet bahaya polusi udara, baik itu bahaya yang tampak, maupun dampak jangka panjang yang tersembunyi.

Pada 2010, peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Profesor Dr. Budi Haryanto SKM, MSPH, MSc., menerbitkan penelitian ilmiah yang berjudul "Climate Change and Urban Air Pollution Health Impacts in Indonesia".

Dalam penelitian yang bisa diakses secara bebas di situs ResearchGate ini, tercatat bahwa kasus pencemaran udara merupakan penyumbang 57,8 persen kasus pesakitan di seluruh populasi masyarakat Jakarta.

Di sisi penyakit, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, bronkitis, serta iritasi kulit dan mata menjadi penyakit bersumber pencemaran udara yang mengharuskan masyarakat berobat ke fasilitas kesehatan seperti puskesmas dan rumah sakit.

"Polusi udara terbukti menjadi ancaman bahaya yang tinggi bagi penduduk Jakarta, terlepas dari status sosio-ekonominya," tulis Prof Budi dalam penelitiannya.

Secara terpisah, Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) kepada Suara.com mengatakan polutan sendiri terbagi menjadi dua jenis, yakni komponen gas dan komponen partikel.

Baca Juga: Greenpeace: Pemerintah Tidak Pernah Serius Atasi Polusi Udara

Komponen gas merupakan polutan yang rentan menyebabkan iritasi. Sementara komponen partikel bertanggung jawab terhadap kerusakan jangka panjang, karena rentan masuk ke dalam aliran darah tubuh melalui saluran pernapasan.

Data emisi pencemaran udara yang dirilis melalui riset Prof Budi Haryanto. (Dok. Budi Haryanto/Researhgate)
Data emisi pencemaran udara yang dirilis melalui riset Prof Budi Haryanto. (Dok. Budi Haryanto/Researhgate)

Dampak jangka pendek yang disebabkan oleh polutan antara lain iritasi kulit, iritasi hidung dan iritasi mata. Iritasi juga bisa terjadi di bagian lain dan menyebabkan sakit tenggorokan hingga peradangan dan pembengkakan saluran napas.

"Kalau ini berlanjut dampaknya bisa merangsang terjadinya risiko ISPA," ungkap dr. Agus.

Untuk dampak jangka panjang, efeknya bisa baru akan terasa hingga 5-10 tahun ke depan. Hal ini dikarenakan penurunan fungsi paru yang terjadi secara perlahan, dan meningkatkan risiko terjadinya asma, penyakit paru obstruktif kronik, hingga kanker paru.

Bukan Cuma Berbahaya untuk Paru

Sekilas, kesehatan paru-paru dan saluran pernapasan merupakan hal yang paling terdampak dari memburuknya polusi udara. Wajar, mengingat saluran pernapasan terkena dampak langsung polusi, mulai dari iritasi hingga pengendapan partikel yang memicu penyakit.

Namun menurut pakar, bahaya polusi udara tidak hanya untuk kesehatan paru-paru dan saluran pernapasan. Berbagai studi dan penelitian ilmiah sudah membuktikan jika polusi udara juga berbahaya bagi organ tubuh lain, termasuk otak, sistem metabolik, jantung, hingga alat kelamin.

Greenpeace melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Kamis (28/9).
Greenpeace melakukan aksi di depan Gedung Kementerian Kesehatan, di Jakarta, Kamis (28/9). (Dok. Suara.com)

Dalam studi yang diterbitkan di jurnal Diabetes Care, paparan PM2,5 dalam jumlah tinggi disebut meningkatkan risiko terserang diabetes. Studi yang dilakukan oleh Center for Occupational and Environmental Health di the University of California, Los Angeles, menyebut PM2,5 yang masuk ke aliran darah menyebabkan terjadinya resistensi insulin, salah satu faktor utama diabetes.

Paparan PM2,5 juga berbahaya untuk otak. Seperti dijelaskan sebelumnya, ukuran PM2,5 yang sangat kecil memungkinkannya untuk masuk ke dalam jaringan pembuluh darah di otak. Studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet Neurology menyebut, 30 persen pasien stroke yang mengalami disabilitas dikaitkan dengan polusi udara. Risiko lebih besar terjadi jika Anda tinggal di negara berkembang.

Polusi udara juga sudah lama dikaitkan dengan penyakit gagal jantung. Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Queen Mary University of London, Inggris, polusi udara bisa menyebabkan perubahan pada struktur jantung. Paparan PM2,5 dan PM10 diketahui membuat ukuran bilik jantung membesar, yang pada akhirnya meningkatkan risiko gagal jantung.

Yang terbaru, paparan polusi udara juga berpengaruh terhadap kesehatan alat kelamin lelaki. Studi yang diterbitkan di The Journal of Sexual Medicine menyebut risiko disfungsi ereksi meningkat akibat paparan polusi udara. Meski penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Guangzhou University di China menggunakan tikus sebagai partisipan, pesan utama bahwa polusi udara berbahaya bagi kesehatan seksual tak boleh diabaikan.

Lantas, apalagi dampak buruk yang ditimbulkan dari polusi udara? Simak ulasannya di halaman berikutnya. 

Beban Ekonomi Penyakit Bersumber Polusi Udara

Dalam penelitiannya, Prof Budi tidak hanya menyinggung risiko penyakit akibat pencemaran udara, namun juga prediksi beban ekonomi yang bisa ditimbulkan.

Kebakaran hutan di Sumatra pada 2015 menyebabkan kematian pada setidaknya 10 orang yang disebabkan oleh masalah pernapasan. Angka pasien rumah sakit yang membutuhkan penanganan jauh lebih besar, mencapai lebih dari 560 ribu orang.

Di Jakarta, di mana sektor ekonomi berhubungan langsung dengan transportasi, mengalami penyakit akibat pernapasan bisa berdampak lansung terhadap kondisi ekonomi seseorang.

Beban ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit asma, PPOK, pneumonia hingga bronkitis bisa mencapai Rp 38,5 triliun. Angka ini menurut Prof Budi, sangat tinggi mengingat anggaran belanja Kementerian Kesehatan yang hanya Rp 20 triliun.

Oleh karena itu, harus ada langkah serius dari pemerintah terkait masalah polusi udara. Bila pemerintah tidak melakukan aksi nyata secepat mungkin, maka kasus pesakitan dan beban ekonomi akibat masalah pencemaran udara akan terus meningkat dan semakin parah.

"Kita bernapas tidak bisa memilih (udara). Kualitas udara kita seperi apa, itu yang ada di paru-paru kita. Kalau begini terus, secara perlahan terjadi pembiaran kemudian sakit dan meninggal dunia yang sebenarnya ini semua dapat dicegah," terang Prof budi.

Data emisi pencemaran udara yang dirilis melalui riset Prof Budi Haryanto. (Dok. Budi Haryanto/Researhgate)
Data emisi pencemaran udara yang dirilis melalui riset Prof Budi Haryanto. (Dok. Budi Haryanto/Researhgate)

Belum Terlambat untuk Mencegah

Dampak bahaya polusi udara sudah tidak diragukan lagi. Tak hanya berisiko menyebabkan kesakitan dan kematian, polusi udara juga bisa membuat keadaan ekonomi terpuruk.

Meski begitu, dr. Agus mengatakan belum terlambat untuk melakukan penanganan, dan mencegah efek buruk polusi udara menyerang masyarakat. Dikatakannya, pencegahan dampak polusi udara harus dilakukan secara holistik atau menyeluruh.

Ada tiga klasifikasi upaya pencegahan dampak polusi udara menurut dr. Agus. Yang pertama, upaya pencegahan bisa dilakukan dengan mengurangi polutan yang ada di perkotaan. Hal ini bisa dicapai dengan memperketat uji emisi kendaraan, membuat peraturan dan undang-undang terkait polusi udara yang lebih bijak, serta pemantauan kadar nilai polutan secara berkala.

Di tingkat individu, pencegahan bisa dilakukan dengan mengadopsi gaya hidup sehat. Misalnya, masyarakat yang menggunakan moda transportasi umum tak lupa menggunakan masker saat melakukan perjalanan.

Upaya pencegahan sekunder bisa dilakukan dengan rutin melakukan pemeriksaan medis atau medical check-up minimal enam bulan sekali. Pemeriksaan medis bisa dilakukan untuk beberapa penyakit, seperti kanker paru dan PPOK, yang gejala awalnya tidak terlihat jelas.

Ilustrasi polusi udara berbahaya bagi anak-anak. (Shutterstock)
Ilustrasi polusi udara berbahaya bagi anak-anak. (Shutterstock)

Disebutkan dr. Agus, pemeriksaan medis sangat dianjurkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah dengan polusi udara tinggi, serta yang rutin terpapar asap baik itu dari kendaraan bermotor, pabrik, maupun rumah tangga.

Upaya pencegahan tersier lebih diutamakan bagi pasien penyakit paru, atau pasien penyakit lain yang keadaannya bisa memburuk jika terpapar polusi udara. Bagi kelompok sensitif ini, pemantauan kadar polusi udara secara rutin dan berkala menjadi penting.

Tentu saja, upaya pencegahan dampak polusi udara tidak bisa dilakukan seorang diri. Pemerintah, baik itu pemerintah daerah maupun pusat, kelompok masyarakat, pemerhati lingkungan, hingga individu harus berupaya maksimal agar dampak polusi udara tidak lagi mematikan.

"Selain itu individu juga bisa melakukan aktivitas seimbang, dengan cara menghindari lokasi dengan polutan tinggi dan mengupayakan pergi ke daerah hijau seminggu sekali sebagai suplai udara segar," tutup dr. Agus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI