Suara.com - Gangguan autisme pada anak bisa dikenali sejak usia dini dengan memperhatikan sejumlah perilaku yang menyimpang dari perkembangan normal. Salah satu tanda utama adalah kurangnya kemampuan bersosialisasi serta munculnya perilaku yang berulang atau repetitif.
"Autisme merupakan gangguan neurodevelopmental yang ditandai dengan hambatan dalam interaksi sosial dan pola perilaku terbatas yang berulang," kata Dokter Spesialis Anak, Hanna Dyahferi Anomsari, Selasa (14/4/2025).
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu menyebutkan bahwa penting bagi orang tua untuk memahami gejala-gejala gangguan spektrum autisme.
Dia menekankan bahwa tingkat pendidikan dan pengetahuan orang tua sangat berperan dalam mendeteksi gejala sejak dini. Menurutnya, deteksi dini sangat krusial karena semakin awal intervensi dilakukan, semakin besar kemungkinan perkembangan anak dapat ditingkatkan secara signifikan.
Gejala autisme pada anak dapat muncul dalam berbagai bentuk dan pada usia yang berbeda-beda. Salah satu indikator awal adalah saat anak tidak memberikan respons ketika dipanggil pada usia 12 bulan. Kondisi ini bisa menandakan gangguan pada komunikasi atau bahkan masalah pendengaran.
"Jika anak tidak merespons saat namanya dipanggil di usia 1 tahun, kita harus waspada. Bisa jadi ini bukan sekadar gangguan pendengaran, tapi juga salah satu gejala autisme ringan pada anak," jelasnya.
Tanda lainnya adalah ketika anak berusia 14 bulan tetapi tidak mampu menunjuk objek atau orang di sekitarnya. Menurut Hanna, kebanyakan anak dengan gangguan autisme kesulitan menunjuk, bermain pura-pura, atau berinteraksi secara simbolik.
Selain itu, kontak mata yang minim saat berbicara juga menjadi salah satu ciri yang paling mudah dikenali. "Anak seperti tidak merespons atau mengabaikan ketika diajak bicara," ujarnya.
Menurut Hanna, anak dengan gangguan perkembangan anak ini umumnya mengalami keterlambatan bicara dan kesulitan memahami kata-kata sederhana.
![Seorang anak berkebutuhan khusus (autis) mendapat terapi sensory integrasi dari terapis di Pusat Layanan Autis (PLA). [Dok. Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/04/15/23576-anak-autis.jpg)
Misalnya, ketika ditunjukkan gambar ayam dan diminta menyebutkannya, anak dengan autisme mungkin tidak memahami makna kata tersebut.
Kemampuan memahami instruksi juga sering terganggu. Anak dengan autisme bisa mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan sederhana atau memilih makanan yang mereka sukai. Hal ini kerap menimbulkan kekhawatiran bagi orang tua yang belum memahami karakteristik gangguan ini.
Hanna menyarankan para orang tua untuk melakukan skrining perkembangan sejak dini apabila mendapati tanda-tanda tidak biasa pada perilaku anak. Skrining ini bisa membantu menemukan pendekatan dan penanganan yang sesuai agar anak tetap dapat tumbuh secara optimal.
Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 1 dari 100 anak di dunia hidup dengan gangguan spektrum autisme. Di Indonesia sendiri, angka ini diperkirakan meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap gejala autisme pada anak dan pentingnya deteksi dini.
Konsumsi Ikan Saat Hamil Tekan Risiko Autisme Anak
Konsumsi ikan saat hamil disebut berkontribusi menurunkan risiko autisme pada anak hingga 20 persen. Fakta ini terungkap dalam studi yang diterbitkan American Journal of Clinical Nutrition.
Penelitian ini menunjukkan bahwa diet kaya ikan selama masa kehamilan berkaitan dengan kemungkinan lebih rendah anak mengembangkan gangguan spektrum autisme, terutama pada anak perempuan.
Penelitian yang melibatkan hampir 4.000 wanita hamil ini mengevaluasi hubungan antara konsumsi ikan saat hamil dan hasil neurodevelopmental pada anak-anak.
Ditemukan bahwa ibu yang mengonsumsi ikan dua kali atau lebih dalam seminggu menunjukkan penurunan signifikan pada gejala terkait autisme, berdasarkan hasil survei Social Responsiveness Scale (SRS) yang diisi oleh orang tua.
Menariknya, manfaat tersebut tidak ditemukan pada ibu hamil yang hanya mengonsumsi suplemen omega-3. Meskipun omega-3 dikenal sebagai nutrisi penting untuk perkembangan otak, suplemen minyak ikan tidak menunjukkan kaitan yang signifikan terhadap penurunan risiko autisme atau skor SRS anak-anak.
“Studi kami memperkuat bukti bahwa pola makan ibu hamil memainkan peran penting dalam perkembangan neurologis anak, khususnya dalam kaitannya dengan risiko autisme,” ujar Emily Oken, salah satu peneliti utama.
Para partisipan dibagi berdasarkan frekuensi makan ikan selama kehamilan menjadi empat kelompok: kurang dari sebulan sekali, sebulan sekali, seminggu sekali, dan dua kali atau lebih per minggu.
Sekitar 25 persen dari peserta hampir tidak pernah makan ikan selama kehamilan, sementara sebagian besar lainnya juga tidak mengonsumsi suplemen omega-3.
Studi ini menyoroti pentingnya konsumsi makanan alami seperti ikan, dibandingkan mengandalkan suplemen semata. Ikan dikenal sebagai sumber utama omega-3 alami, yang juga kaya akan vitamin D dan yodium—nutrisi penting lainnya yang turut mendukung perkembangan janin. (Antara)