Namun menurut Erna, apresiasi terhadap kader sering kali minim. Pelatihan gizi masih langka, insentif pun terbatas. Akibatnya, banyak kader hanya melakukan rutinitas teknis, datang, menimbang, mencatat, lalu pulang.
“Bukan karena mereka tidak peduli,” ujar Erna. “Tapi karena kurangnya dukungan, motivasi, dan pelatihan membuat mereka tidak bisa menjalankan peran penyuluh kesehatan secara maksimal.”
Karena itu, menurut Erna apresiasi terhadap kader posyandu perlu ditingkatkan. Bukan hanya apresiasi dalam bentuk materi, namun juga keperluan pembekalan serta pelatihan masih kurang.
Akibatnya, kader tidak memiliki pengetahuan gizi dan kesehatan yang memadai dalam menjalankan perannya sebagai penyuluh kesehatan.
“Dampaknya membuat kader tidak mampu memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat, baik tentang kesehatan keluarga maupun kebutuhan gizi anak. Informasi tentang stunting misalnya, masih banyak kader yang tidak paham apa dan bagaimana gangguan pertumbuhan yang menjadi ancaman masa depan bangsa ini,” tambah Erna.
Saatnya Bergerak Bersama
Anemia pada balita bukan sekadar isu medis, melainkan persoalan pembangunan manusia. Gizi yang buruk hari ini bisa jadi beban ekonomi dan sosial di masa depan.
Maka perlu ada upaya kolektif—dari keluarga, tenaga kesehatan, hingga kebijakan publik, untuk mencegah dan mengatasi ADB.
Meluruskan pemahaman tentang nutrisi, memastikan balita mendapat asupan zat besi cukup, dan memberdayakan kader posyandu secara berkelanjutan adalah kunci.
Baca Juga: Asmirandah Ungkap Kunci Pola Makan Sehat untuk Chloe: Feeding Rules Jadi Andalan!
Karena masa depan bangsa, sejatinya ditentukan dari sehat atau tidaknya anak-anak hari ini.