Suara.com - Di balik senyum polos anak-anak Indonesia, tersimpan ancaman yang kerap luput dari perhatian: anemia defisiensi besi (ADB). Data menunjukkan, satu dari tiga anak Indonesia mengalami kondisi ini.
ADB terjadi ketika tubuh kekurangan zat besi, sehingga tidak mampu memproduksi hemoglobin secara optimal, zat penting dalam sel darah merah yang bertugas mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
“Jika terjadi pada balita, dampaknya sangat serius. Anemia dapat menghambat perkembangan otak, mengganggu kemampuan motorik, dan berdampak jangka panjang pada prestasi belajar anak,” kata dr. Natalie D. Muth, ahli gizi anak dari Healthy Children.
Mengapa Anak Usia Dini Rentan?
Usia 6 hingga 24 bulan disebut sebagai periode paling rawan. Mengapa? Karena pada usia ini, kebutuhan zat besi melonjak hingga 40 kali lipat, sementara cadangan zat besi dari dalam tubuh bayi mulai menipis.
“Sebanyak 97% kebutuhan zat besi pada usia ini seharusnya dipenuhi dari makanan pendamping ASI (MPASI),” tulis Kementerian Kesehatan RI dalam situs resminya. Sayangnya, tidak semua anak mendapatkan MPASI yang kaya akan zat besi.
Salah Kaprah Gizi, Ancaman Baru
Kekeliruan dalam memahami nutrisi menjadi penyebab utama kekurangan zat besi. Salah satunya adalah anggapan bahwa susu menyebabkan kegemukan atau bahwa semua jenis susu memberikan manfaat yang sama.
Padahal, susu sapi yang dikonsumsi sesuai kebutuhan usia, justru memberikan banyak manfaat bagi pertumbuhan anak.
Baca Juga: Asmirandah Ungkap Kunci Pola Makan Sehat untuk Chloe: Feeding Rules Jadi Andalan!
Dikutip dari laman Healthy Children, dokter anak dan ahli diet Natalie D, Muth, MD, MPH, RDN, FAAP juga memberikan saran asupan susu untuk balita. Anak usia 12 – 24 bulan, kebutuhan konsumsi susu 470 ml per hari. Sementara kebutuhan susu anak 2-5 tahun sebanyak 470 ml – 709 ml per hari.
Susu sapi dikenal sebagai sumber nutrisi yang penting bagi anak. Terdapat kalsium, vitamin D, protein, vitamin A, dan zinc, yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan yang sehat.
Karena itu, penting untuk meluruskan kesalahpahaman tentang susu dan meningkatkan kesadaran akan manfaatnya bagi semua usia.
Peran Strategis Kader Posyandu: Tapi Masih Banyak Tantangan
Masalahnya tak hanya soal makanan di meja. Sosialisasi dan edukasi tentang gizi juga masih lemah di lapangan. Di sinilah kader posyandu seharusnya berperan besar. Namun kenyataannya, banyak kader belum dibekali pemahaman yang cukup.
“Kader Posyandu adalah garda terdepan yang langsung bersentuhan dengan warga, terutama ibu dan anak,” jelas Dr. Erna Karim, M.Si., dosen Sosiologi Universitas Indonesia. “Mereka menjadi sumber utama pemahaman masyarakat tentang gizi dan kesehatan keluarga.”