Suara.com - Peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berakhir pada Jumat (24/4/2015) tidak hanya dimanfaatkan untuk mempererat kerja sama ekonomi dan politik, tetapi juga beberapa isu lain yang mendesak, seperti radikalisme.
Sejumlah organisasi juga memanfaatkan momen itu untuk memperjuangkan kepentingannya. Sebutlah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama dengan organisasi perempuan di negara-negara Asia Afrika lain yang memanfaatkan peringatan KAA untuk memperkuat kerja sama antarorganisasi perempuan dan menyuarakan perlawanan atas praktik Islam konservatif yang dinilai merintangi hak-hak perempuan.
"Sekarang ini kami sedang menjalin komunikasi dengan teman-teman yang ada di negara-negara Asia Barat dan Afrika Utara, membicarakan bagaimana tren Islam konservatif justru merintangi hak-hak perempuan, misalnya perkawinan anak-anak semakin dilegalkan yang membuat jumlah anak perempuan putus sekolah jadi bertambah," ujar Sekjen KPI Dian Kartikasari.
Pihaknya, bersama dengan organisasi perempuan seluruh dunia, juga aktif menjalin diskusi dengan tokoh-tokoh Islam untuk mengetahui di mana sebenarnya larangan atau faktor dalam hukum agamanya yang mensyaratkan bahwa perempuan tidak bisa memperoleh hak yang sama dengan kaum lelaki.
Selain itu, kata dia, dalam forum internasional seperti peringatan KAA, para aktivis perempuan ini bisa menguatkan upaya "people to people engagement" untuk mendorong pemerintah negara tertentu memberlakukan kebijakan yang lebih memihak kaum perempuan.
"Seperti mendorong agar perempuan di Arab Saudi boleh berorganisasi karena selama ini tidak pernah ada organisasi perempuan di negara tersebut, berbeda dengan negara-negara lain seperti Palestina, Pakistan, Afrika Selatan, Afghanistan, dan India yang sudah bisa menyuarakan kepentingan perempuan melalui organisasi-organisasi mereka," tutur dia.
Menurut Dian, dalam gerakan perempuan ada gejala atau kecenderungan bahwa negara dan kekuatan-kekuatan konservatif justru membuat mundur situasi perempuan baik itu dalam aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
"Misalnya hak politik. Kita di Indonesia beruntung karena perempuan boleh ikut dalam pemilu. Tidak semua negara di Afrika mengizinkan kaum perempuannya memilih (dalam pemilu), dan itu yang sampai sekarang masih kami perjuangkan," tutur dia.
Tidak hanya boleh ikut dalam pemilu, jika dibandingkan dengan negara lain di Timur Tengah, perempuan Indonesia juga dapat berpartisipasi menjadi calon yang dipilih dalam pemilu.
Aisyiyah, organisasi otonom bagi wanita organisasi Islam yang besar di Indonesia, Muhammadiyah, menilai kesempatan untuk perempuan di Indonesia sangat terbuka, tinggal perempuan terus memberdayakan diri dan mengangkat harkat martabatnya di berbagai bidang.
"Perempuan di mata Aisyiyah sekarang ini sangat maju jauh," kata Wakil Ketua Umum Aisyiyah, Masyitoh.
Ia mengatakan bahwa perempuan saat ini bahkan sudah dapat bersaing dengan lelaki di berbagai bidang, termasuk politik dengan terwakilinya perempuan di parlemen lewat kuota 20 persen perempuan.
"Kuota 20 persen perempuan di parlemen terpenuhi, kualitas juga kita bisa bersaing," kata Masyitoh yang juga Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Pandangan Islam Berbeda dengan beberapa negara di Timur Tengah, Islam di Indonesia merupakan Islam moderat yang ramah, toleran, bertujuan menerapkan misi 'rahmatan lil alamin' dan menggarisbawahi pentingnya keseimbangan.
Organisasi Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama menilai Islam menetapkan perempuan dan laki-laki sesuai dengan proporsi dan tanggung jawab yang harus dipikul.