Menpar: Kita Harus Jadi Nomor Satu!

Madinah Suara.Com
Minggu, 07 Agustus 2016 | 16:03 WIB
Menpar: Kita Harus Jadi Nomor Satu!
Menteri Pariwisata, Arief Yahya (Puskompublik Kemenpar).

Tuntutan akan standar kinerja tertinggi merupakan mekanisme untuk memberikan tantangan (challenges) dan dorongan (drives), agar kita tidak terjebak dalam zona kenyamanan (comfort zone). Standar tertinggi sekaligus memberikan leverage effect, yaitu dorongan agar kita bekerja di atas kemampuan normal yang dimiliki. Kalau secara normal kita mampu mengerjakan pekerjaan 100 persen, maka dengan leverage (pengaruh) ini kita berupaya keras untuk mencapai 125 persen atau bahkan 150 persen.

Berbicara mengenai sikap mental menjadi yang terbaik, saya menjadi teringat mantan CEO legendaris General Electric (GE), Jack Welch. Pada suatu kesempatan, Jack Welch ditanya oleh anak buahnya tentang mengapa GE harus selalu menjadi nomor satu. Jack Welch menjawabnya begini, “Kalau kita nomor satu dan nomor dua, pada saat kondisi sulit, kita akan bisa tetap sustain (berlanjut). Namun bila kita berada di nomor 4, 5 atau 6, maka di masa sulit kita tidak bisa sustain.”

Intinya, Jack Welch ingin menekankan bahwa kita harus selalu menjadi yang terbaik. To be number one, to be number two, or to be gone. Dalam bisnis, Jack Welch mengatakan, kalau tidak nomor satu dan nomor dua, maka harus pergi. Keep, fix, sell. Karena itu, kepada para pemimpin di Kemenpar saya sering mengatakan, kalau memang bagus lakukan, keep it; kalau kurang bagus masih diperbaiki, fix it; dan kalau sudah tidak bisa bagus, tanggalkan, sell it.

Spirit of Ihsan
Kata kunci untuk menjadi yang terbaik adalah memperbaiki diri secara terus-menerus. Karena itu saya mengatakan, sikap mental untuk menjadi yang terbaik merupakan perwujudan dari spirit Ihsan yang mengandung tiga makna, yaitu “memperbaiki” (ahsana), “lebih baik” (yuhsinu), dan “terbaik” (ihsanan).

Orang yang memiliki spirit Ihsan akan senantiasa memperbaiki hal-hal yang biasa menjadi sebuah kondisi yang lebih baik, dan apabila perbaikan itu dilakukan secara terus-menerus, maka pada akhirnya akan membawanya menjadi yang terbaik. Jadi, kalau bicara tentang Ihsan, maka continuous improvement (perbaikan terus-menerus) menjadi sebuah keharusan. Continuous improvement dalam rangka mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya.

Saya sering mengilustrasikan karakter Ihsan dengan sifat-sifat mulia dari seorang ibu. Mengapa ibu kita sangat mencintai kita dengan tulus ikhlas? Mengapa ibu kita membesarkan kita tanpa pamrih apapun? Mengapa ibu kita mengasuh dan merawat kita dengan penuh kasih, penuh sayang? Saya kemudian bertanya lagi. Penuh kasih, penuh sayang itu sifat siapa? Sifat siapakah Ar Rahman (pengasih) dan Ar Rahim (penyayang) itu? Itu tak lain adalah sifat-sifat Tuhan.

Karena itu saya berkesimpulan, ibu kita hebat dan mulia, karena beliau menggunakan sifat Tuhan untuk mengasuh dan membesarkan kita. Jadi karakterlah yang membuat ibu kita hebat. Atau lebih tepatnya, karakter Tuhanlah yang membuat ibu kita hebat.

Oleh karenanya, alangkah mulianya kita kalau dalam hidup dan dalam bekerja menggunakan karakter Tuhan, atau manajemen Tuhan, atau akhlak Tuhan. Saya meyakini, karakter Tuhanlah yang bisa membuat Kemenpar hebat. Karakter Tuhan adalah fondasi kesuksesan sejati. Nah, menurut beberapa ahli, karakter tertinggi Tuhan itu adalah Ihsan, yang artinya “yang terbaik” atau “yang sempurna”. Meski disadari kita tidak dapat melakukan sepenuhnya, namun kita harus selalu menuju ke sana.

Memiliki spirit Ihsan mengandung esensi bahwa kita memiliki komitmen rohani, dimana saat beribadah, termasuk di dalamnya saat bekerja, mata hati kita melihat Tuhan. Ketika mata hati kita melihat Tuhan, maka dengan sendirinya kita akan mempersembahkan karya yang terbaik kepada Tuhan.

Bekerja merupakan bagian ibadah kepada Tuhan. Maka kita akan bekerja dengan ilmu terbaik, konsep terbaik, strategi terbaik dan teknik-teknik kerja terbaik untuk memberikan hasil yang terbaik. Inilah konsekuensi sebuah prinsip bahwa apapaun yang dilakukan manusia pada hakikatnya merupakan persembahan (ibadah) kepada Tuhan.

Sekali lagi, karena bekerja merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan, maka dalam bekerja pun kita juga harus mempersembahkan yang terbaik. Kalau kita bekerja diawasi oleh atasan, maka kita masih bisa sembunyi atau mengelabuhi. Tapi karena dilihat dan diawasi Tuhan, maka kita tak akan bisa menyembunyikan diri, kita tak bisa bohong, kita tak bisa mengelabuhi.

Konsekuensi logisnya adalah, kita tidak punya pilihan lain kecuali harus bekerja sebaik dan sesempurna mungkin. Inilah esensi Ihsan.

Salam Pesona Indonesia!
Arief Yahya

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI