Choirul Mahpuduah, Sosok di Balik Terkenalnya Kampung Kue Rungkut

Senin, 23 April 2018 | 11:12 WIB
Choirul Mahpuduah, Sosok di Balik Terkenalnya Kampung Kue Rungkut
Choirul Mahpuduah, mantan aktivitis buruh yang menggagas Kampung Kue di Rungkut, Surabaya. (Suara.com/Dinda Rachmawati)

Suara.com - Surabaya punya sebuah kampung yang dinamakan "Kampung Kue", tepatnya di kawasan hunian padat, Rungkut Lor II, Kecamatan Rungkut, Surabaya.

Setiap dini hari, warga setempat, baik para ibu maupun bapak sudah menjajakan berbagai macam kue tradisional di depan rumahnya masing-masing.

Mulai dari kue basah seperti pastel, lemper, dadar gulung, donat rogut, dan bolu pisang, sampai varian kue kering, salah satunya, almond crispy yang kini menjadi ikon oleh-oleh khas Surabaya.

Untuk mendapat predikat sebagai "Kampung Kue" yang juga sudah dikenal oleh banyak wisatawan, ada proses yang cukup panjang yang harus warga setempat lalui. Perlu waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sampai tercipta komunitas "Kampung Kue".

Hal ini, tak lepas dari perjuangan penggagasnya, Choirul Mahpuduah, mantan aktivis yang dulu pernah di penjara, karena vokal memperjuangkan hak-hak para buruh.

Awalnya Banyak yang Menolak
Perempuan bertubuh tinggi tersebut pun mulai menceritakan jatuh bangunnya saat mulai merintis usaha tersebut. Ia memulainya pada 2005 dan memiliki niat untuk mengajak para ibu memiliki kegiatan yang menghasilkan uang untuk kehidupan keluarganya sehari-hari.

"Tahun tersebut, terjadi krisis ekonomi. Kami bekerja di pabrik, rata-rata ibu-ibu di sekitar saya sudah kena PHK. Mereka banyak yang terlilit utang sama rentenir. Saya ingin mengubah perspektif mereka, bahwa bekerja itu tidak hanya sama orang lain. Bekerja sendiri membuat kita lebih mandiri dan bermartabat," ujar dia panjang lebar kepada Suara.com, beberapa waktu lalu.

Choirul Mahpuduah, mantan aktivitis buruh yang menggagas Kampung Kue di Rungkut, Surabaya. (Suara.com/Dinda Rachmawati)

Saat itu, lanjut perempuan yang akrab disapa Irul, sudah banyak ibu membuat kue tradisional yang dijajakan di pasar. Namun, mereka tak terkoordinasi dan dilakukan sendiri-sendiri, sehingga dampaknya pun tidak signifikan.

Baca Juga: Miris, Ada Sekolah SD Beralas Tanah dan Dinding Daun Nipah

Ia pun berusaha mengajak para ibu, namun tak berjalan mulus. Berbagai penolakan Irul terima, karena ibu-ibu tersebut merasa pesimis dengan ide yang Irul sampaikan pada saat itu.

"Saat itu, saya mendatangi mereka ke rumah satu persatu, banyak yang menolak, tapi prinsip saya ini adalah gerakan perubahan. Jadi, saya fokus saja pada yang menerima. Sampai urunan modalnya Rp50ribu per orang. Kami tiga orang, jadi modal awal waktu itu Rp150 ribu," kenang dia.

Dari sanalah Irul mulai dengan sabar membantu ibu-ibu membuat berbagai kue dengan ilmunya. Nyatanya, semakin banyak warga di sekitarnya yang mulai tertarik ikut. Dari 20 pembuat kue, hingga 60-an pedagang.

Bahkan, kata dia, para bapak yang awalnya bekerja di pabrik, kini fokus membantu istrinya untuk membuat kue, dan nama "Kampung Kue" semakin dikenal dan maju.

Kampung Kue Jadi Terkenal hingga Sekarang
Hal ini berdampak pula pada tingkat produksi yang semakin meningkat. Segmen pasar yang semakin luas, misalnya dari menengah bawah, naik menjadi menengah atas, hingga warga setempat bisa memiliki penghasilannya dan lepas dari lilitan utang.

Ratusan kue diproduksi dalam sehari, perputaran uang pun, menurut Irul, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Namun bukan berarti usahanya ini tanpa kendala.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI