3 Tradisi yang Masih Dilestarikan di Semarang

Minggu, 12 Mei 2019 | 11:00 WIB
3 Tradisi yang Masih Dilestarikan di Semarang
Menyambut bulan suci dengan suara bedug dan meriam: Dugderan. (Dok Airy Rooms)

Suara.com - 3 Tradisi yang Masih Dilestarikan di Semarang

Semarang merupakan salah satu daerah di nusantara yang masih melestarikan tradisi nenek moyang dengan baik. Kota ini memang memiliki keragaman adat dan budaya yang melimpah.

Berbagai usaha pelestarian pun dilakukan, salah satunya dengan rutin menyelenggarakan tradisi khasnya. Selain mempertahankan sekaligus mengenalkan tradisi pada generasi muda, pengadaan ritual-ritual adat ini dapat menarik wisatawan untuk datang ke Semarang.

Penasaran ritual adat atau tradisi apa saja yang populer di Semarang? Berikut ini rangkumannya dikutip dari Airy Rooms.

Menyambut bulan suci dengan suara bedug dan meriam: Dugderan

Dugderan merupakan sebuah tradisi yang diadakan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Tradisi ini sudah ada sejak tahun 1881, sejak masa penjajahan kolonial.

Untuk memeriahkan dugderan, biasanya muncul pasar tiban. Pasar ini menawarkan berbagai kuliner, pakaian, mainan, termasuk kerajinan tradisional selama seminggu sebelum bulan suci dimulai.

Menyambut bulan suci dengan suara bedug dan meriam: Dugderan. (Dok Airy Rooms)
Menyambut bulan suci dengan suara bedug dan meriam: Dugderan. (Dok. Airy Rooms)

Tepat sehari sebelum umat muslim menjalankan ibadah puasa, sebuah karnaval akan diadakan. Karnaval dimeriahkan dengan kirab, arak-arakan pasukan berpakaian tradisional, drumband, dan kesenian tradisional lainnya.

Baca Juga: Melihat Tradisi Ramadan di Masjid Sunan Giri Gresik

Ada juga arak-arakan Warak Ngendok yang merepresentasikan keberagaman suku, budaya, dan agama di Semarang. Warak Ngendok sendiri merupakan perwujudan tiga unsur binatang; kepala naga, badan unta, dan kaki kambing.

Mulainya acara dugderan ditandai dengan pemukulan beduk oleh pejabat setempat dan dilanjutkan dengan penyalaan meriam. Suara beduk dug dug dug dan diakhiri dentuman meriam der der der itulah yang mendasari penamaan tradisi tahunan Semarang tersebut.

Melempar lumpur untuk menolak bala dan kejahatan: Popokan

Di Sendang, Bringin, Semarang, ada sebuah tradisi unik yang diadakan pada hari Jumat Kliwon di bulan Agustus setiap tahunnya. Tradisi ini disebut popokan yang dipercaya sebagai penolak bala dan kejahatan. Popokan juga diselenggarakan sebagai wujud syukur atas berkah panen yang melimpah.

Dalam tradisi popokan, warga laki-laki—mulai dari anak-anak sampai orang dewasa—akan saling melempar lumpur di jalan utama desa. Lumpur ini diambil dari sawah setempat. Tubuh kotor karena terkena lumpur bukan masalah. Tidak ada emosi, hanya ada sukacita semata selama popokan. Warga justru percaya bahwa terkena lumpur menandakan mereka mendapat berkah.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI