Martha menjadi pejuang perempuan dari Maluku yang wafat pada usia 17 tahun. Lahir di Nusa Laut pada 4 Januari 1800 dan meninggal di Laut Banda pada 2 Januari 1818.
Ia seorang gadis dari Desa Abubu di Pulau Nusa Laut, putri dari Kapitan Paulus Tiahahu dari negeri Abubu, seorang pembantu Thomas Matulessy dalam perang Pattimura di tahun 1817.
Martha mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran dan memberi semangat pada kaum perempuan di seluruh negeri untuk ikut berjuang. Ketika ayahnya ditangkap dan mendapatkan vonis hukuman tembak, Martha berusaha membebaskan ayahnya, namun gagal.
Ia pun memilih bergerilya, akhirnya tertangkap dan menemui ajal di Kapal Perang Eversten. Jasadnya diluncurkan ke Laut Banda dengan penghormatan militer, mendapatkan gelar pahlawan nasional dari Maluku pada 20 Mei 1969.
4. Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan
Nuku dikenal sebagai Sultan dari Kesultanan Tidore yang dinobatkan pada 13 April 1779. Gelarnya adalah Sri Paduka Maha Tuan Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan.
Pada masa pemerintahannya yang mencakup Pulau Tidore, Halmahera Tengah, pantai Barat, dan Utara Irian Barat, Sultan Nuku berjuang dari satu wilayah ke wilayah lain melawan dan berdiplomasi dengan Belanda juga Inggris. Tujuannya untuk membebaskan rakyat dari penjajahan.
Ia lahir di Soasiu, Tidore, pada 1738 dan wafat di kota yang sama pada 14 November 1805. Nuku diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 7 Agustus 1995.
5. Willem Johannes Latumeten
Baca Juga: Ambon Banjir, Belasan Rumah dan Musala di Negeri Kaitetu Terendam Luapan Sungai
Willem merupakan keturunan keluarga besar Latumetena dari Desa Rutong di Pulau Ambon. Ayahnya seorang pejuang dan ahli penyakit jiwa, Prof. Dr. Y.A. Latumeten.
Willem lahir di Saparua, 16 April 1916. Ia mengenyam sekolah tinggi di Geneeskundige Hogeschool atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta. Pengabdiannya untuk negara dimulai sejak zaman revolusi fisik hingga kemerdekaan. Pernah menjabat di Kementerian Penerangan, Departemen Olahraga, dan menjadi Pembina Olahraga.
Ia juga mendirikan Sekolah Tinggi Olahraga di Jakarta, membentuk PERBASI, membina para atlet yang akan terjun ke ASEAN GAMES IV tahun 1962 dan GANEFO pada 1963, juga menjadi Sekretaris Umum Komite Olympiade Indonesia Pusat pada 1955 – 1964.
6. Sultan Babullah
Babullah diangkat sebagai Sultan Ternate pada 1950, menggantikan ayahnya Sultan Hairun yang dibunuh oleh Portugis. Perang antara Ternate dan Portugis kembali terjadi pada 1570 – 1575. Karena sejak kematian ayahnya, Sultan Babullah bersumpah tidak akan menghentikan perang hingga semua orang Portugis terusir dari daerah kekuasaannya.
Pengepungan Sao Paulo, Benteng Portugis, menjadi tindakan pertamanya yang berlangsung sampai lima tahun lamanya hingga Portugis menyerah.