Suara.com - Jalur Gaza kembali memanas, jadi ajang pertempuran antara kelompok militan Hamas di Palestina dengan Israel. Korban jiwa berjatuhan dari kedua belah pihak, konflik berdarah kembali terjadi sejak 70 tahun lalu.
Menilik sejarah panjang konflik di Jalur Gaza, ada sosok bernama Munib Al Masri. Ia disebut-sebut sebagai orang terkaya di Palestina, sekaligus memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kebebasan rakyat Palestina.
Kini, usianya sudah menginjak 89 tahun. Kepada media ia mengaku sedang menunggu Palestina merdeka, meski harapan itu tak semudah dibayangkan.
Lantas siapakah sebenarnya Munib Al Masri?
Dinukil dari sejumlah sumber, kisah Munib Al Masri bisa menjadi inspirasi perjuangan rakyat Palestina. Ia dikenal juga sebagai Adipati Nablus, dan dia adalah salah satu orang kepercayaan mantan ketua organisasi Pembebasan Palestina Yasser Arafat.
Ia memiliki rumah yang letaknya di antara Tepi Barat dan Jalur Gaza. Lokasinya yang strategis ia dedikasikan rumah itu untuk rakyat Palestina. Karena itu, tidak heran bendera Palestina tergantung di sepanjang sisi rumahnya dan empat ruang tamunya dinamai menurut kota-kota Palestina yang modern dan bersejarah.
Munib Al Masri Kecil
Munib Al Masri lahir di Nablus, Palestina pada tahun 1934 dari keluarga berada. Ayahnya meninggal saat ia baru berumur 1,5 tahun, adalah seorang pedagang emas yang banyak memiliki relasi dengan pedagang luar negeri.
Munib kemudian tumbuh dewasa bersama sang ibu dan hidup di Palestina hingga usia 18 tahun. Selama itulah dia menjadi saksi mata saat negara Israel diproklamasikan pada 14 Mei 1948.
Baca Juga: Perang Israel-Palestina, Ketua PBNU: Hentikan Kekerasan di Wilayah Keduanya
Di usia 14 tahun, Munib menjadi salah satu saksi kejamnya pertempuran pasca-proklamasi Israel. Saat itu ia menyaksikan bagaimana tempat kelahirannya, Nablus yang tadinya tenang dan damai berubah jadi ajang pertempuran.
Dalam sebuah wawancara di media, ia menyaksikan bagaimana pilot pesawat tempur Israel menjatuhkan bom di kawasan Nablus. Rumah-rumah hancur, korban jiwa berjatuhan. Atas peristiwa ini, bibit balas dendam dari dalam dirinya mulai muncul.
Singkat cerita, Munib memutuskan untuk angkat kaki dari tanah kelahirannya karena kondisi di Nablus makin berbahaya. Di tahun 1952 ia pergi ke Beirut, Lebanon untuk selanjutnya melakukan perjalanan panjang menggunakan kapal laut menuju New York, Amerika Serikat.
Pendidikan Di AS
Di Negeri Paman Sam, Munib mulai menata kembali kehidupannya. Setelah lulus SMA, Masri memutuskan untuk melanjutkan pendidikan tinggi di AS di tahun 1950-an.
Masri menjadi aktif secara politik dan bergabung dengan kelompok pro-Palestina di kampus, yang sering bentrok dengan organisasi pro-Israel.
Setelah banyak belajar di AS, Munib kembali ke Timur Tengah. Di tahun 1956 ia mendirikan perusahaan pengeboran mineral dan air, bernama Engineering & Development Group (Edgo) yang berbasis di Amman, Yordania.
Belakangan, perusahaan itu sukses membuat nama Munib moncer. Dia dikenal sebagai ahli yang mampu menemukan sumber air di wilayah Timur Tengah yang kering kerontang.
Dari sini, pundi-pundi kekayaanya mengucur. Meski begitu, kekayaan tak membuatnya terlena dan melupakan tanah kelahirannya, Palestina.
Pertemuan Dengan Yasser Arafat
Saat perjalanan ke seluruh Timur Tengah untuk urusan pekerjaan, Munib bertemu salah satu pendiri Fatah, Yasser Arafat pada tahun 1963 selama perjalanan bisnis ke Aljazair.
Sejak itu, ikatan antara Masri dan Arafat terjalin kuat, yang bertahan sampai kematian Arafat. Ia kemudian memantapkan diri sebagai pengusaha besar di Timur Tengah, mengalihkan fokusnya ke eksplorasi air di Yordania, negara-negara Teluk dan bagian lain di Timur Tengah.
Kekayaan bersihnya diperkirakan lebih dari 1,5 miliar dolar AS. Kala itu Ia juga semakin dekat dengan Arafat dan tetap terlibat dalam politik.
Berjuang Untuk Palestina
Pada perjalanannya, di tahun 1993, Munib Al Masri yang sudah malang melintang dan sukses di bidang industri bersama kespatriat Palestina lain mendirikan Palestine Development and Investment (PADICO).
PADICO bertujuan membangun dan menghadirkan investasi di Palestina yang bertujuan membangkitkan perekonomian nasional di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kelak, perusahaan itu adalah otak di balik kehadiran Bursa Efek Palestina dan juga hadirnya investasi asing dalam pembangunan fasilitas dan infrastruktur.
Bagi Munib, pendirian PADICO adalah perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pendidikan dan pembangunan bangsa. Jika itu tercapai, maka masyarakat Palestina bisa menemui kemerdekaannya.