Merujuk pada pernyataan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBH) Asfinawat mengatakan, aparat penegak hukum sering berpandangan bahwa korban tidak benar-benar mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Jika tidak, korban justru dianggap sebagai pihak yang menyebabkan dirinya dilecehkan atau menjadi korban kekerasan seksual.
"Stigmatisasi juga muncul kalau korban tidak benar-benar mengalami atau korban yang membuat kejadian yang dialaminya," tuturnya.
Selain itu, Asfinawati mengungkapkan banyak korban yang melaporkan perkara pelecehan seksual jusrru dimintai bukti. Padahal mencari bukti merupakan pekerjaan penyidik.
"Padahal mencari bukti merupakan pekerjaan penyidik," katanya.
Fenomena No Viral No Justice
Menurut pernyataan korban pada kasus di atas, laporannya ditolak karena tidak bukti video pada ponsel pelaku. Padahal sudah jelas, pada CCTV yang ditunjukan korban, pelaku masuk ke dalam toilet wanita. Harusnya dari bukti itu saja, laporan tersebut masih bisa ditindaklanjuti.
Selain itu, banyak probabiliti lain mengenai video yang tidak ada di ponsel korban. Bisa saja dipindah ke penyimpanan lain bahkan device lain.
Lagi-lagi, permasalahan ini baru mendapat penanganan dari pihak polisi. Usai kasusnya viral di media online.
Baca Juga: Asul Usul Tanjakan Spongebob yang Viral, Makan Banyak Korban Jiwa
Fenomena ini seolah menggambarkan tagline satir 'No Viral No Justice', di mana kalimat tersebut didefinisikan masyarakat sebagai bentuk situasi suatu individu melakukan pengaduan di media sosial sehingga mendapatkan perlindungan atau keadilan dengan utuh. Penggunaan tagline tersebut juga sebagai bukti pekerjaan aparat penegak hukum sangatlah lambat dan merupakan kegagalan negara dalam mengelola laporan masyarakat.