Maka jika merujuk pada hirearki tersebut, dapat disimpulkan bahwa kedudukan Fatwa MUI bukan merupakan suatu jenis peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Soal hukum fatwa ini pun pernah dijelaskan oleh Mahfud MD. Menurutnya fatwa MUI sama dengan fatwa lembaga peradilan negara yang tidak wajib diikuti.
"Sejak dulu sampai sekarang fatwa MUI atau fatwa siapa pun tak harus diikuti. Jangankan fatwa MUI, fatwa MA yang lembaga peradilan negara saja tak harus diikuti. Yang mengikat kalau dari MA adalah vonisnya, bukan fatwanya. Tapi kalau pihak-pihak sepakat memakai fatwa ya dibolehkan," ujar Mahfud MD.
"Kalau dalam hukum Islam, fatwa hanya pendapat hukum berdasar istinbath dari Qur’an dan atau Sunnah. Setiap orang punya pendapat yang sering saling berbeda. Maka lahirlah berbagai pendapat dalam aliran-aliran fikih seperti Hanafi, Syafii, Maliki, Hambali. Kita tak harus ikut Maliki tapi boleh kalau mau," imbuhnya.
Klarifikasi Fatwa MUI soal Produk Pro Israel
Ramainya soal fatwa terbaru tentang hukum dukungan terhadap perjuangan Palestina. Mengenai Fatwa MUI Nomor 84 tahun 2023.
Akhirnya Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Muti Arintawati memberikan klarifikasi.
"Sepemahaman saya, fatwa MUI tidak mengharamkan produknya tapi mengharamkan perbuatan yang mendukung Israel," katanya.
Di sisi lain, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menyatakan bahwa yang diharamkan MUI itu bukan produknya atau zatnya.
Baca Juga: Susu Formula hingga Skincare Diboikot, MUI Edarkan Fatwa Haram: Kudu Piye?
Menurutnya, dalam Fatwa MUI itu hanya dituliskan mendukung aksi agresi Israel, baik secara langsung maupun tidak langsung.
"Jadi, yang diharamkan adalah perbuatan dukungan tersebut dan bukan barang yang diproduksi. Jadi, jangan salah dalam memahaminya," tandasnya.