"Tim kampanye, atau tim yang ditunjuk bisa melakukan itu, maka kena tindak pidana, jika ada terbukti terhadap caleg melakukan itu, dan buktinya maka calegnya bisa diskualifikasi, demikian juga capres" tutur Bagja.
Aparat Desa Dukung Prabowo-Gibran Dianggap Wujud Demokrasi Tanpa Etika dan Moralitas
Siapa sangka kalau sinyal dukungan yang dilakukan aparat desa dengan pasangan capres dan cawapres nomor 2 dianggap sebagai wujud demokrasi yang berjalan tanpa etika. Hal itu pun disampaikan langsung oleh Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia yakni Neni Nur Hayati.
"Mobilisasi kepala desa ini memperlihatkan demokrasi tanpa etika dan moralitas. Terlalu banyak manuver politik yang dilakukan dengan menghalalkan segala cara untuk meraih kemenangan," terangnya.
Menurutnya, aparatur desa sebaiknya tidak turut dalam pusaran persaingan politik dengan alasan apapun. Tentu bukan tanpa alasan, agar sikap mereka tidak ikut merusak demokrasi di tengah masyarakat.
Selain menjadi wujud demokrasi tanpa etika dan moral, menurut Neni momen ini juga menjadi sinyal akan terjadinya potensi dugaan pelanggaran dalam Pemilu dan Pilpres 2024. Tak menutup kemungkinan juga sikap ini bisa menurunkan kualitas demokrasi dalam proses penyelenggaraan Pemilu.
Sementara itu, aparatur pemerintahan daerah diwajibkan bersikap netral. Hal itu pun sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, serta UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Ada juga Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), kepala desa, perangkat desa, dan anggota badan permusyawaratan desa dilarang menjadi pelaksana/tim kampanye paslon capres-cawapres.
Jika melakukan pelanggaran terkait peraturan di atas, bisa berakibat pidan maksimum 1 tahun penjara dan denda Rp12 juta.
Baca Juga: Tanggapan Irit Puan Maharani Saat Ditodong Isu Peran Iriana Jokowi Majukan Gibran jadi Cawapres