“Kalau bisa mencari berarti memiliki sumber untuk mencarinya (pangan). Untuk mengolah, kita perlu memiliki pangannya kemudian diolah menjadi sesuatu yang mengenyangkan sesuai dengan kebutuhan kita. Mungkin kita butuh dua skill itu, mencari dan mengolah, dari zaman pra sejarah pun sudah dilakukan (dengan berburu),” tutur Dwi.
Mencari dan mengolah pangan pun tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan kita atas pangan itu sendiri. Saat berkunjung ke Peony Ecohouse, saya dibuat takjub dengan beragam pangan lokal yang tertata dengan rapi.
Pangan-pangan tersebut dijual tanpa minimal pembelian dengan konsep zero waste, di mana pembeli diimbau membawa wadah masing-masing alih-alih disediakan kantong plastik oleh Peony.
Meski begitu, Peony tetap menyediakan wadah-wadah bekas hasil donasi yang bisa dimanfaatkan oleh para pembeli yang lupa atau pun baru pertama kali berkunjung tanpa membawa wadah.
Prinsip yang dipegang Peony ini tak hanya mematahkan stigma bahwa produk yang disebut dengan organik memiliki harga yang mahal, namun untuk menunjukkan jika kita bisa mencegah pangan yang terbuang dengan membeli sesuai kebutuhan kita.
“Jadi diproses supaya orang (pembeli) itu belanja sesuai kebutuhan. Biar lebih bijak dalam (berbelanja). Beli itu ya sesuai yang dibutuhkan. Misalnya, (produk) di supermarket dijual dalam kemasan 1 kilogram padahal kita perlu hanya 100 gram. Jika kita beli (produk tersebut), (ada potensi) akan terbuang,” ujar Dwi.
Produk-produk yang ditawarkan oleh Peony bisa disebut mewakili pangan lokal yang ada di Yogyakarta, maupun sekitar Yogyakarta. Kita bisa melihat teh kuning asal Kulonprogo, Yogyakarta di rak paling kiri. Atau di rak paling kanan, kita bisa menyaksikan pasta lokal buatan UMKM asal Bandung, yang warna-warni dengan bentuk seperti kerang-kerang kecil nan menggemaskan.
Promosi terkait pangan juga dilakukan oleh Bhumi Bhuvana (Bhubhu) yang bersemayam di kawasan Prawirotaman, Yogyakarta. Dibersamai congklak, di sisi lain menceritakan kisah soal bawang putih, Bukhi selaku pemilik Bhubhu memperkenalkan ragam rempah lokal yang kerap terabaikan bentuknya.
Pala di ujung kanan, disusul buah kemiri hingga cengkeh bertengger manis di atas congklak. Merica, ketumbar, kluwek turut meramaikan. Namun di antara mereka, ada dua pangan yang asing yang berhasil mengelabui saya.
Baca Juga: Ketua MPR: Konsep Ketahanan Pangan Selalu Andalkan Barang Impor
Dua pangan tersebut adalah asam sunti yang berasal dari Aceh dan asam kandis yang berasal dari Sumatera Barat. Dua jenis asam ini tidak berusaha mengkerdilkan asam Jawa, melainkan menunjukkan bukti dari kekayaan keragaman hayati di Indonesia jika kita benar-benar mencari.
Bila asam Jawa berasal dari apa yang disebut dengan pohon asam Jawa, lain halnya dengan asam sunti dan asam kandis. Asam kandis dibuat khusus dari kulit buah dari jeruk limau.
Sementara asam sunti dibuat dari belimbing wuluh yang kemudian dikeringkan dan diasinkan. Diolahnya belimbing wuluh sebagai bahan asam sunti ini tentunya bukan hal yang lumrah di Pulau Jawa, mengingat belimbing wuluh cenderung digunakan untuk membuat kuah garang asem atau sambal khas belimbing (Banyuwangi).
Belum usai dikejutkan dengan varietas asam tersebut, saya diperkenalkan dengan krangean. Rempah sekaligus pangan lokal yang bentuknya mirip dengan kayu manis dan berbau khas minyak tawon.
Usut punya usut, krangean yang misterius ini adalah pangan yang digunakan sebagai penyedap dari makanan paling favorit di Indonesia, yaitu rendang. Rendang yang dimaksudkan adalah rendang khas Sumatera yang dimasak bersama krangean dan rempah lainnya, yaitu mesoyi.
Berpindah sejenak dari congklak, Bukhi melangkahkan kaki ke arah rak-rak di belakang saya dan dua tamu lainnya. Dibawanya sebuah buah sawo berukuran besar, yang dijuluki dengan sawo mentega atau alkesah.