Melakukan apa yang diminta tak selalu membuahkan hasil yang sepadan bagi mereka. Jangankan mampu melebihi, bawang putih lokal belum tentu mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersaing di pasar.
Demi sedikit pun hasil yang bisa dituai, mau tak mau para petani mengubah peran mereka menjadi penjual. Mereka menjajakan bawang putih mereka ke sana ke mari, tangan dan kaki menemani. Sebab, persoalan kedua di balik sekaratnya bawang putih lokal tidak terwakili oleh harga, melainkan oleh akses distribusi.
“Yang paling mengalami kesulitan itu adalah para petani bawang putih (lokal). Mereka diminta untuk menanam banyak, namun ketika panen, mereka tidak tahu harus menjual kemana. Mereka bingung (bawang putih lokal) mau dibawa kemana,” ungkap Dwi Indriyati.
“Dari segi harga sebenarnya masih (terjangkau), namun dari segi ukuran, tidak sebesar bawang putih konvensional (impor) karena distributornya banyak. (Bawang putih lokal), siapa yang akan mendistribusikan sebanyak itu? (Akses) terbatas. Jadi yang mendistribusikan mereka (para petani) sendiri,” sambung Dwi, berbagi soal perbincangannya dengan para petani/pengelola bawang putih lokal.
Lantas, jika bawang putih lokal tidak mendapatkan tempat, apakah kita yang adalah masyarakat Indonesia akan menggantungkan hidup kita pada apa yang bukan menjadi milik kita dan mematikan apa yang telah diberikan semesta kepada kita?
Satu siung bawang putih telah berbicara dan mungkin saja, krisis yang terjadi bukan sekadar pangan kita, melainkan pengetahuan kita atas pangan yang kita miliki.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Sjamsul Hadi selaku Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat melalui Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia,
Tanam apa yang kita makan, makan apa yang kita tanam.
Menanam apa yang kita makan dan makan apa yang kita tanam adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya petani, pengelola pangan, distributor, namun juga konsumen.
Baca Juga: Ketua MPR: Konsep Ketahanan Pangan Selalu Andalkan Barang Impor
Kita bertanggung jawab atas apa yang kita tanam sebagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang kita makan. Begitu pun sebaliknya, kita bertanggung jawab atas apa yang kita makan sebagaimana kita bertanggung jawab atas apa yang kita tanam.
Jika kita mengharapkan masa depan pangan yang cerah atau setidaknya aman untuk anak cucu kita, bukan sekadar sistem pangan adaptif yang kita perlukan, melainkan sebuah sistem yang sesuai dengan jati diri kita, Indonesia. Kita tidak hanya memerlukan pangan yang bisa bertahan dalam waktu lama, namun juga pangan yang berkebudayaan dan berdaulat, yaitu pangan yang sesuai dengan sumber daya lokal.
Mari kita berjalan ke kawasan Indonesia Tengah dan belajar dari Suku Boti yang menetap di Nusa Tenggara Timur. Beriklim kering dan bertanah kapur, masyarakat Boti justru membuat pemerintah kicep dengan kemandirian mereka.
Alih-alih mengeluh dan mengemis, masyarakat Boti berhasil menciptakan sistem pangan yang menyatu dengan kebudayaan mereka. Mereka menanam beragam tanaman dan makan beragam tanaman yang mereka tanam, menjaga kelestarian lingkungan mereka, mengutamakan proses secara organik, dan tentu saja tidak mengorbankan sistem kepercayaan.
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Boti adalah contoh bahwa apa yang lokal bisa menyelamatkan kita. Apa yang ada di sekitar kita, apa yang telah diberikan kepada kita adalah apa yang harus kita cari, apa yang harus kita olah.

Mencari dan mengolah adalah dua hal berbeda. Namun baik mencari ataupun mengolah pangan adalah skill (kemampuan) yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, sebagaimana mencari dan mengolah telah dicontohkan oleh para leluhur kita sejak masa pra sejarah.