Jumlah mushaf braille Yordania yang dikirim ke Indonesia tidak diketahui pasti. Jilid yang tersisa dan menjadi bahan kajian adalah jilid VI, yang mencakup 11 surah dari Surah Al-‘Ankabut (juz 20) hingga Surah Az-Zumar (juz 24).
Pada akhir 2014, naskah serupa ditemukan di Bandung. Naskah ini berisi 8 surah, mulai dari Surah Al-Anbiya (juz 17) hingga Surah Al-Qasas (juz 20). Berdasarkan kedua temuan ini, diperkirakan mushaf braille dari Yordania awalnya terdiri dari 30 juz dengan 8 jilid.
Mushaf ini menjadi eksperimen pertama dalam penerapan simbol Braille Arab untuk Al-Qur’an. Meskipun Braille Latin sudah digunakan oleh tunanetra di Bandung, Al-Qur’an Braille sempat tersimpan tanpa banyak diketahui selama hampir dua tahun di LPPBI.
Melihat kondisi ini, pada tahun 1956, seorang pejabat Departemen Sosial bernama A. Arif mengambil inisiatif. Ia membawa mushaf tersebut ke Yogyakarta, yang saat itu dianggap sebagai pusat aktivitas tunanetra. Baru pada tahun 1963, ketika menjabat pimpinan BPPS di Yogyakarta, A. Arif menyerahkan mushaf ini kepada Supardi Abdushomad, seorang tunanetra yang bekerja sebagai juru tik di kantornya.
Langkah ini menjadi titik awal perkembangan Al-Qur’an Braille di Indonesia, membuka akses lebih luas bagi penyandang disabilitas netra untuk mempelajari kitab suci.