Suara.com - Anggapan bahwa film Pabrik Gula diangkat dari cerita nyata kini menimbulkan perdebatan. Salah satu hal yang menimbulkan asumsi tersebut tak lain adalah keberadaan tradisi 'manten tebu' sebagai sentral dari jalan cerita.
Simple Man, pengarang cerita yang menginspirasi film Pabrik Gula menghadirkan manten tebu yang ternyata diambil dari tradisi sungguhan di masyarakat sekitar pabrik gula.
"Bagi mereka yang tinggal disekitar pabrik gula, mungkin sudah tidak asing dengan penyebutan," tulis Simple Man melalui akun X (sebelumnya Twitter) pribadinya, dikutip Kamis (3/4/2025).
Tradisi manten tebu yang dijelaskan oleh Simple Man yakni sebuah tradisi untuk merayakan panen tebu yang akan disuling menjadi gula.
"Sebuah perayaan untuk menyambut masa panen tebu sebelum batang-batang tebu itu digiling lalu disuling hingga menjadi butiran gula," lanjut Simple Man menjelaskan latar belakang tradisi manten tebu.
Beberapa pengguna X yang mengaku tinggal di pabrik gula juga mengaku pernah mengenal tradisi serupa seperti manten tebu.
"Apakah semua pabrik gula sama saja? Soalnya di pabrik gula yang ada di deket kampung halaman ortu ku jg gtu. Ada "festival" giling penganting (sejenis boneka terbuat dr tepung kalau ga salah inget) menandakan awal penggilingan di masa panen," bunyi salah satu komentar warganet yang dibalas dengan berbagai komentar serupa.
Lantas, apakah tradisi manten tebu benar-benar dilakukan di dunia nyata? Seperti apa tradisi manten tebu sebenarnya?
Tradisi sarat akan makna: 'Mengawinkan' pihak petani dengan pemilik pabrik
Baca Juga: Nonton Film Pabrik Gula Pakai DANA Kaget Gratis, Gimana Caranya?
Kebenaran tradisi manten tebu sebagai kebudayaan yang dilakukan oleh masyarakat di dunia nyata tercatat secara rapi oleh beberapa catatan sejarah dan studi kebudayaan.
Jurnal Online Baradha Edisi 25 Volume 1 Tahun 2023 turut meneliti terkait keberadaan tradisi manten tebu. Salah satu masyarakat yang melakukan tradisi ini adalah masyarakat di sekitar Jawa Timur, termasuk Kediri, Tulungagung, hingga Blitar.
Jurnal yang ditulis oleh Novi Antikasari dan Octo Dendy Andriyanto tersebut memperoleh temuan bahwa tradisi manten tebu diambil dari kata 'manten' yang berarti pengantin dan tebu.
Secara harfiah, manten tebu dapat diartikan sebagai tradisi pengantin tebu. Sesuai dengan namanya, tradisi manten tebu diperuntukkan sebagai perayaan untuk menyambut panen tebu yang melimpah di daerah dekat pabrik tebu.
Perayaan tersebut dilambangkan dengan acara mengawinkan petani tebu dengan pihak pabrik gula yang mengandung harapan agar dua belah pihak bisa sama-sama bekerja sama tanpa kendala.
Selain acara pernikahan, acara manten tebu diikuti dengan berbagai acara meriah. Salah satu acara yang diselenggarakan yakni pasar malam dan juga berbagai acara kesenian.
Penelitian Novi Antikasari dan Octo Dendy Andriyanto tersebut juga menemukan di beberapa daerah, ada yang menyelenggarakan tradisi ini bukan dengan mengawinkan pihak petani tebu dengan pabrik gula, tetapi untuk mengawinkan tebu berkualitas dari kebun.
Tebu yang dikawinkan juga dibuat seperti sepasang pengantin, yakni tebu pengantin perempuan dan tebu pengantin laki-laki. Tebu laki-laki diberikan nama Raden Bagus Rosan dan tebu perempuan diberi nama Dyah Ayu Roromanis.
Pemberian nama kedua tebu pengantin tersebut juga tak sembarangan. Ada makna dan doa agar tebu yang dipanen bisa melimpah dan hasilnya berkualitas tinggi.
Satu hal yang diperhatikan dalam pemilihan pengantin manusia, yakni kedua pengantin yang dipilih harus masih berstatus perjaka dan perawan.
Pengantin yang dipilih nantinya akan diarak dari kebun tebu ke pabrik gula bersama-sama dengan pengantin tebu.
Kontributor : Armand Ilham