Suara.com - Gonjang-ganjing rumah tangga Baim Wong memasuki babak baru, di mana kini ia dilaporkan ke Komnas Perempuan oleh Paula Verhoeven atas isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Bukan tanpa alasan, laporan itu dilayangkan oleh Paula Verhoeven lantaran ia merasa menerima semua jenis KDRT ketika menjalin rumah tangga bersama Baim Wong.
Melalui kuasa hukumnya, Paula Verhoeven menjelaskan jika selama kurun waktu dua tahun terakhir, ia mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari Baim Wong.
Tak hanya itu, sang pengacara, Siti Aminah juga memaparkan jika terjadi dugaan diskriminasi dari humas Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Dalam laporan yang dilayangkan pada Rabu (30/4) itu, pihak Paula menyertakan bukti berupa rekaman CCTV yang telah dianalisis oleh ahli forensik digital.
"Komnas Perempuan yang diwakili ketiga komisioner menerima pengaduan kekerasan berbasis gender dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi yang dialami Ibu Paula sebagai istri," ujar Siti Aminah.

Dijelaskan bahwa setelah menganalisa hasil CCTV, ahli digital forensik menjelaskan jika memang terjadi kekerasan fisik yang dialami oleh Paula Verhoeven.
"Keterangan ahli digital forensik yang menilai, rekaman CCTV memperlihatkan kekerasan fisik yang dialami oleh Ibu Paula," imbuhnya.
Namun, yang paling ditekankan dalam laporan ini adalah kekerasan verbal yang dialami oleh Paula Verhoeven selama beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Pengacara Benarkan Rekaman Suara Baim Wong yang Viral Merupakan Salah Satu Bukti dalam Sidang Cerai
Kabar ini mungkin membuat publik penasaran, memangnya apa saja sebetulnya bentuk KDRT?
Secara arti, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah segala bentuk tindakan yang menyebabkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran ekonomi dalam lingkup rumah tangga.
Tindakan ini bisa dilakukan oleh pasangan, orang tua, anak, atau anggota keluarga lainnya yang berdampak serius terhadap kesehatan korban, baik secara fisik maupun mental.
Mengutip dari laman Alodokter, kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya sebatas tindakan fisik, tetapi juga mencakup kekerasan psikologis dan seksual.
Siapa pun bisa menjadi pelaku maupun korban KDRT, meskipun pada kenyataannya mayoritas korban adalah perempuan.
Namun, laki-laki juga dapat mengalami kekerasan, terutama dalam hubungan sesama jenis. Bagi kebanyakan pria, situasi ini lebih rumit karena adanya tekanan sosial untuk tidak terlihat lebih lemah dari pasangannya.
Berbagai Bentuk KDRT
KDRT memiliki dampak serius bagi korban, sehingga mencari tahu apa saja bentuk KDRT bisa menjadi alternatif untuk menanganinya.
Berikut adalah bentuk-bentuk KDRT yang kerap terjadi dan jarang disadari oleh korban.

Kekerasan Emosional
Jenis KDRT ini biasanya muncul dalam berbagai bentuk, seperti pasangan yang sering mengkritik atau menghina di depan umum, menyalahkan korban atas perilakunya, menuduh berselingkuh dan selalu curiga.
Bentuk kekerasan ini berdampak negatif, seperti rasa takut yang terus-menerus terhadap pasangan, hingga perubahan kebiasaan atau perilaku seseorang demi menghindari kemarahan pasangannya.
Intimidasi
Selain kekerasan emosional, pelaku KDRT sering melakukan intimidasi atau ancaman kepada pasangannya.
Bentuk-bentuk intimidasi ini bisa berupa tindakan membuang atau merusak barang-barang milik korban, terus-menerus mengawasi dan ingin mengetahui keberadaannya, mengancam akan menyakiti diri sendiri atau bahkan anak korban.
Biasanya pelaku melakukan tindakan yang memaksa, seperti memeriksa ponsel, pesan singkat, dan email. Semua tindakan ini bertujuan untuk mengontrol dan menakut-nakuti korban.
Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik dalam rumah tangga dapat berupa tindakan memukul, menampar, menendang, mencekik, menjambak, mengurung, dan beberapa tindakan yang membuat fisik terluka.
Perilaku ini umumnya dipicu oleh kecanduan alkohol atau penyalahgunaan obat-obatan terlarang, meski ada beberapa kasus penyebabnya berbeda.
Kekerasan Seksual
Kekerasan dalam rumah tangga juga dapat mencakup kekerasan seksual yang memaksa korban untuk melakukan hubungan seksual.
Kemudian memaksa menyentuh bagian tubuh sensitif secara tidak layak, menyakiti korban selama hubungan seksual, atau memaksa untuk berhubungan seksual tanpa kondom serta melarang penggunaan alat kontrasepsi.
Semua tindakan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak dan martabat korban.
Kontributor : Damayanti Kahyangan