Filosofi di Balik Totopong Dedi Mulyadi: Lebih dari Sekadar Ikat Kepala

M. Reza Sulaiman Suara.Com
Kamis, 08 Mei 2025 | 08:52 WIB
Filosofi di Balik Totopong Dedi Mulyadi: Lebih dari Sekadar Ikat Kepala
Dedi Mulyadi dan ikat kepala totopong. (Dok. KDM CHannel/Youtube)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi senantiasa tampil dengan penampilan khas yang langsung menarik perhatian publik. Ciri paling mencolok dari penampilannya adalah ikat kepala tradisional Sunda atau yang dikenal dengan sebutan totopong, yang selalu setia menghiasi kepalanya di berbagai kesempatan.

Penampilan khas ini bukan sekadar aksesori fesyen belaka, melainkan manifestasi mendalam dari nilai-nilai budaya, filosofi kehidupan, serta konsistensi dalam membangun dan mempertahankan jati dirinya.

Kira-kira, kenapa Dedi Mulyadi suka pakai ikat kepala (totopong)? Cari tahu alasannya dan makna di baliknya, yuk! 

1. Totopong: Warisan Budaya Sunda

Totopong adalah ikat kepala tradisional khas masyarakat Sunda. Biasanya terbuat dari kain polos berwarna hitam atau bercorak khas, dan digunakan oleh kaum pria sebagai simbol kehormatan, ketegasan, dan kebijaksanaan. Dalam sejarahnya, totopong dipakai oleh para pejuang, tokoh adat, dan pemimpin masyarakat.

Dedi Mulyadi mempopulerkan kembali penggunaan totopong sebagai bentuk pelestarian budaya lokal. Sebagai tokoh yang lekat dengan identitas Sunda, ia ingin membangkitkan kembali rasa bangga terhadap tradisi yang mulai terpinggirkan oleh modernitas. Dengan selalu mengenakan totopong dalam berbagai kesempatan, Dedi memperlihatkan bahwa budaya lokal masih relevan dan layak ditampilkan di ruang publik.

2. Simbol Perlawanan terhadap Globalisasi Budaya

Salah satu alasan kenapa Dedi Mulyadi suka pakai ikat kepala (totopong) adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap arus globalisasi budaya yang kian kuat. Dalam era di mana budaya luar sangat mudah masuk melalui media sosial dan hiburan digital, identitas lokal seringkali tergerus. Dedi menggunakan totopong sebagai simbol perlawanan dan pengingat bahwa nilai-nilai lokal tidak boleh dilupakan.

Ia sering menyampaikan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri. Dengan mengenakan totopong, ia tidak hanya menunjukkan siapa dirinya, tetapi juga memberikan edukasi visual kepada masyarakat bahwa menjadi modern tidak harus meninggalkan akar budaya.

Baca Juga: Bangga Jadi Talent Promosi Pinjol, Aura Cinta Tegas Tak Dukung Praktik Pinjaman Online

3. Konsistensi dan Personal Branding

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI