Dalam ilmu pengetahuan sudau jelas, bahwa emisi gas rumah kaca seperti karbon dan metana dari aktivitas manusia menyelimuti Bumi dalam lapisan polusi, memicu pemanasan global dan bencana ekstrem badai hebat, kekeringan, banjir, hingga kebakaran hutan.
Untuk menjaga iklim tetap stabil dan Bumi tetap layak huni, emisi harus dikurangi hampir setengahnya pada 2030 dan mencapai nol bersih pada 2050. Setiap derajat pemanasan sangat berarti. Seperti dikatakan mantan ketua Panel Tingkat Tinggi Emisi Nol Bersih, "Planet ini tak bisa lagi menunggu, tak butuh alasan, dan tak sanggup menanggung lebih banyak pencucian hijau."
Greenwashing menjadi ancaman serius. Ia menipu konsumen, investor, dan publik lewat klaim keberlanjutan palsu. Akibatnya, kepercayaan terkikis, ambisi melemah, dan aksi nyata untuk mengurangi emisi pun terhambat. Padahal, tanpa komitmen dan transparansi, dunia akan semakin jauh dari target iklim global.
Label Bukan Jaminan
Label seperti biodegradable, organik, atau zero waste sering kali dijadikan alat jualan. Namun, tak semua klaim bisa dibuktikan.
Contohnya, plastik biodegradable tidak serta-merta bisa hancur sendiri di alam. Proses penguraiannya butuh kondisi khusus, seperti suhu dan kelembaban tertentu, yang sering tak dijelaskan ke konsumen.
Penelitian menunjukkan, plastik yang dilabel “oxo-biodegradable” tidak berubah bentuk setelah empat bulan dikubur di tanah. Sementara itu, plastik dari pati singkong memang berkurang beratnya hingga 74 persen setelah dikubur, namun belum jelas apakah benar-benar terurai tuntas dalam jangka panjang.
Studi lain menemukan bahwa beberapa kantong plastik biodegradable masih tetap utuh setelah tiga tahun dikubur di tanah.
Tidak Ada Produk yang Benar-Benar Zero Waste
Baca Juga: Transformasi Bisnis Hijau Mendesak Bagi Seluruh Sektor Industri
Klaim “zero waste” juga perlu dicermati. Sebab, tak ada produk yang benar-benar tanpa jejak lingkungan. Proses produksi, pengemasan, distribusi, hingga pengelolaan limbah—semuanya tetap menghasilkan emisi karbon.