Suara.com - Introvert sering digambarkan sebagai pribadi yang tenang, lebih suka menyendiri, dan cepat merasa lelah saat berada di lingkungan sosial. Tapi di tengah populernya istilah “introvert” di media sosial, tidak sedikit orang yang mungkin mengidentifikasi diri secara keliru, bahkan menggunakan label tersebut sebagai tameng dari sifat asli mereka.
Fenomena ini disebut oleh psikolog sebagai bentuk self-labelling atau masking, yaitu ketika seseorang menyamarkan perilaku atau kecenderungannya dengan label tertentu demi kenyamanan sosial.
Dikutip dari Scientific American, banyak orang keliru menyamakan introversi dengan sifat pemalu atau antisosial, padahal secara ilmiah itu berbeda.
Nah, berikut ini adalah 7 tanda umum seseorang yang mungkin saja fake introvert, alias hanya “mengaku” introvert tapi sebenarnya tidak demikian:
1. Suka Jadi Pusat Perhatian, Tapi Mengaku Lelah Bersosialisasi
Berdasarkan riset dari Susan Cain, penulis buku Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking, introvert sejati umumnya menghindari spotlight karena merasa lelah secara mental setelah terlalu banyak interaksi sosial.
Tapi jika seseorang justru senang tampil dan aktif di keramaian tapi tetap mengaku introvert, itu bisa jadi pertanda bahwa label tersebut hanya pelindung.
2. Sangat Aktif di Media Sosial
Introvert biasanya lebih selektif dalam berbagi kehidupan pribadinya, termasuk di dunia maya. Studi dari University of Georgia (2015) menemukan bahwa individu dengan kepribadian ekstrovert cenderung lebih aktif di media sosial dan memiliki frekuensi unggahan yang tinggi.
Baca Juga: Energi Sosial Habis, 8 Alasan Orang Butuh Me Time Seharian Setelah Bersosialisasi
Jadi jika seseorang selalu update, sering tampil di TikTok, IG Story, atau sibuk debat di komentar, tapi menyebut diri “pendiam”, itu patut dicermati.
3. Sering Menjadikan ‘Introvert’ sebagai Alasan Menghindar
Introvert bukan berarti menolak bersosialisasi. Namun, jika seseorang terus-menerus memakai label introvert sebagai dalih untuk menghindari kerja tim, tanggung jawab sosial, atau komunikasi penting, bisa jadi itu sekadar tameng dari sikap tidak kooperatif.
Mengutip dari Psychology Today, psikolog klinis Dr. Michael Alcée menegaskan bahwa kepribadian bukan alasan untuk menghindari keterampilan sosial yang sehat.
4. Nongkrong Aktif, Tapi Bilang Lebih Suka Sendiri
Ambivert, gabungan antara introvert dan ekstrovert, sering keliru dilabeli sebagai introvert. Padahal, orang yang suka berkumpul tapi masih butuh waktu sendiri bukan berarti sepenuhnya introvert.
Jika seseorang sangat menikmati interaksi sosial tapi tetap bersikukuh bahwa dirinya introvert, bisa jadi ia hanya ingin terlihat ‘misterius’ atau ‘deep’ di mata orang lain.
5. Punya FOMO (Fear of Missing Out) Berlebihan
Introvert cenderung fokus ke dalam dan tidak mudah terpengaruh oleh tren sosial. Sebaliknya, seseorang yang takut ketinggalan gosip, tren TikTok, atau ajang sosial lainnya, lebih mencerminkan ciri ekstrovert atau individu yang sangat bergantung pada validasi sosial.
Menurut Journal of Behavioral Addictions, FOMO yang tinggi cenderung muncul pada orang-orang dengan kebutuhan akan keterlibatan sosial, kebalikan dari introversi.
6. Gelisah Saat Sendirian
Menurut The Myers-Briggs Company, introvert sejati merasa terisi kembali saat sendirian. Tapi jika seseorang merasa bosan, gelisah, atau bahkan cemas ketika tidak berinteraksi dengan orang lain, itu bisa jadi tanda bahwa kepribadiannya tidak sejalan dengan introversi, meskipun ia mengakuinya.
7. Gunakan Label Introvert untuk Menolak Kritik
Terkadang, seseorang mengatakan “aku introvert” saat mereka menghindari kritik, evaluasi, atau bahkan konflik.
Mengutip Verywell Mind, sikap ini merupakan bentuk emotional masking—menyembunyikan sikap defensif atau ketidaksiapan menghadapi kenyataan dengan menggunakan label psikologis. Hal ini tidak sehat, apalagi jika jadi alasan untuk tidak berkembang secara sosial maupun emosional.
Introvert, ekstrovert, maupun ambivert bukanlah label yang bisa dipakai sesuka hati tanpa pemahaman yang tepat. Jika seseorang terlalu sering menggunakan “introvert” sebagai identitas pelindung tanpa konsistensi dalam sikap dan perilaku, bisa jadi itu tanda bahwa mereka hanya bersembunyi di balik istilah populer.
Yang terpenting bukan soal label, tapi bagaimana kita bisa bersikap otentik, terbuka, dan berkembang sebagai pribadi yang sehat secara emosional dan sosial.