Suara.com - Gagasan menciptakan “pulau kucing” sebagai destinasi wisata tematik terdengar menarik bagi sebagian orang. Di era media sosial, citra pulau yang penuh dengan kucing jinak dan fotogenik seolah menjadi daya tarik pariwisata baru.
Pada Maret lalu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, mewacanakan pengembangan pulau tematik kucing di Pulau Tidung Kecil, Kepulauan Seribu.
Wacana ini sempat disebut-sebut dapat mendatangkan pendapatan daerah dari sektor pariwisata, sekaligus menjadi bentuk alternatif penanganan populasi kucing jalanan di Jakarta.
"Kalau memang nanti bisa kita wujudkan, maka itu juga bisa jadi revenue bagi Pulau Seribu, untuk orang datang kemudian menikmati wisata kucing," kata Pramono.
Namun, rencana ini menuai kritik tajam dari berbagai pihak, salah satunya datang dari Francine Widjojo, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI. Dalam pandangan umumnya terhadap Raperda RPJMD DKI Jakarta 2025–2029, ia menekankan bahwa pemindahan massal kucing ke pulau berisiko tinggi terhadap ekosistem lokal, terutama burung kutilang.
“Padahal pada 2019 Dinas KPKP Jakarta pernah melepasliarkan burung-burung kutilang di Pulau Tidung Kecil untuk konservasi spesies tersebut,” ungkap Francine dalam keterangannya, Selasa (27/5/2025).
Ia juga menambahkan, memindahkan kucing hanya memindahkan masalah, bukan menyelesaikannya. Selain beban pemeliharaan jangka panjang, ekosistem pulau yang terbatas tidak dirancang untuk mendukung populasi predator dalam jumlah besar.
“Di sisi lain, pemindahan kucing-kucing ke pulau tersebut dapat mengganggu ekosistem dan akan menimbulkan beban pemeliharaan jangka panjang karena mereka perlu dirawat seumur hidup,” tuturnya.
Pariwisata di Tengah Krisis Ekologi
Baca Juga: 10 Pemain Andalan Timnas Jepang yang Tidak Disertakan Lawan Timnas Indonesia
Di balik romantisasi pulau Kucing, ada pelajaran penting yang dapat dipetik dari pengalaman Jepang, khususnya dari Pulau Aoshima. Pulau Aoshima, terletak di Laut Seto, Jepang, dikenal dunia sebagai “Pulau Kucing”. Kucing-kucing di sana awalnya diperkenalkan sebagai solusi alami untuk mengatasi hama tikus yang merusak jaring ikan milik nelayan.
Meskipun tidak memiliki penginapan atau toko, pulau ini tetap menarik perhatian wisatawan. Feri yang menghubungkan pulau dengan daratan beroperasi tiga kali sehari—pagi, siang, dan sore—membawa gelombang turis yang ingin berinteraksi dengan kucing-kucing ini.
Para pengunjung biasanya diberikan waktu satu jam untuk bermain, berfoto, atau memberi makan kucing di Aoshima. Fenomena ini menciptakan paradoks: di satu sisi, pariwisata memberikan perhatian dan bantuan finansial untuk perawatan kucing; di sisi lain, ia juga menganggu keseimbangan ekologi pulau yang sudah rapuh.
Tanpa predator alami dan pengelolaan populasi, jumlah kucing berkembang pesat hingga melampaui populasi manusia di pulau tersebut. Dalam satu dekade, Aoshima mencatat rasio yang mencengangkan: satu manusia untuk setiap 50 kucing.
Melansir Guardian, Selasa (27/5/2025), Aoshima kini menghadapi situasi yang jauh dari ideal. Penduduknya hanya tersisa empat orang, dan populasi kucing mulai menurun drastis. Banyak dari kucing tersebut sudah tua dan mengalami berbagai masalah kesehatan, dari kebutaan hingga gangguan pernapasan. Selain harus menangani populasi yang menua, mereka juga menghadapi dilema keseimbangan ekologi yang kian rapuh.
"Hampir seluruh penduduk sudah pindah dan menetap di daratan," jelas Naoko Kamimoto, satu dari empat penduduk yang tinggal di Aoshima. "Saya tahu ketika ada kucing yang menghilang. Ketika mereka tidak muncul setelah satu minggu, tandanya mereka sudah meninggal dan kami akan berusaha mencarinya untuk dikubur."