suara hijau

Diskusi Multipihak di Unhas Merajut Solusi untuk Hutan, Petani, dan Perubahan Iklim

Selasa, 10 Juni 2025 | 18:47 WIB
Diskusi Multipihak di Unhas Merajut Solusi untuk Hutan, Petani, dan Perubahan Iklim
Forum Diskusi Multipihak dan Seminar Perubahan Iklim yang digelar GEF SGP Indonesia bersama Fakultas Kehutanan Unhas, Senin (9/6/2025).(Dokumentasi pribadi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Adalah sebuah impian ketika masyarakat bisa hidup berdampingan dengan alam. Betapa tidak, mereka bisa memelihara hutan dan menjaga lingkungan agar senantiasa lestari. Sementara di sisi lain, masyarakat pun memanfaatkan hasil yang didapat dari alam untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.

Kondisi ini menjadi pertanyaan besar: apakah mungkin terjadi? Tanda tanya ini menjadi pembahasan dalam diskusi kolaboratif yang digelar Global Environment Facility Small Grants Programme (GEF SGP) Indonesia di Gedung Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (9/6/2025).

Ya, Forum Diskusi Multipihak dan Seminar Perubahan Iklim tersebut melibatkan banyak pihak dari pegiat lingkungan, akademisi, pemerintah hingga masyarakat. Tujuannya mencari solusi atas keresahan tersebut.

Dekan Fakultas Kehutanan Unhas Prof. A. Mujetahid M. membuka diskusi dengan studi kasus. Dia menyoroti keberhasilan pengelolaan Hutan Pendidikan seluas 1.300 hektare sebagai model kolaborasi. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa masyarakat bisa meningkatkan kesejahtera tanpa merusakan alam.

Mujetahid mengatakan sebanyak 109 warga kini terlibat aktif dalam berbagai kegiatan produktif seperti berkebun, beternak, hingga memanfaatkan hasil hutan non-kayu seperti penyadapan getah pinus dan aren, serta pengembangan wisata edukasi berbasis ekosistem.

“Kami membuktikan bahwa masyarakat bisa menjadi pelindung hutan, bukan perusaknya,” kata Mujetahid.

Bambang Supriyanto dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menegaskan bahwa perhutanan sosial lebih dari sekadar kebijakan teknis; ini adalah strategi pemberdayaan desa yang hidup berdampingan dengan hutan.

Bambang menyoroti sepertiga dari lebih dari 25.000 desa di kawasan hutan termasuk kategori miskin, sehingga akses kelola legal, pendampingan usaha, dan penguatan kelembagaan mutlak diperlukan.

“Dari 25 ribu lebih desa di kawasan hutan, sepertiganya miskin. Maka akses kelola legal, pendampingan usaha, dan penguatan kelembagaan adalah keharusan,” ujar Bambang.

Baca Juga: Mangrove Tak Goyah: Tangguh Menahan Badai, Tahan Jejak Karbon

Program ini telah memberikan hasil konkret. Lebih dari 8,3 juta hektare hutan (termasuk 358.000 hektare di Sulawesi Selatan) kini dikelola oleh masyarakat. Dampaknya, desa mandiri melonjak tajam, aktivitas ilegal menurun, dan kualitas ekologis meningkat hingga 12 persen.

Bahkan, secara ekonomi, komoditas seperti aren disebut lebih unggul dari sawit. Menurut Bambang, kunci keberhasilan program ini adalah melibatkan masyarakat sejak awal sehingga mereka merasa memiliki.

“Kuncinya adalah masyarakat merasa memiliki dan dilibatkan sejak awal,” tambahnya.

Sementara itu, Koordinator Nasional GEF SGP Indonesia, Sidi Rana Manggala, memaparkan riset yang cukup bikin degdegan dari wilayah Sulawesi, termasuk Bulukumba. Data menunjukkan dampak nyata krisis iklim yang menjadi momok para petani di sana.

Sidi menjelaskan, gangguan siklus berbunga tanaman kopi dan cengkeh, serta penurunan hasil rumput laut akibat pemutihan karang (sea bleaching), telah menyebabkan ketidakpastian iklim yang ekstrem.

"Mereka tak tahu kapan harus tanam atau panen. Bahkan air nira pun berkurang drastis," ujarnya, menggambarkan betapa sulitnya kondisi yang dihadapi para petani.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI