Suara.com - Kota memang menjanjikan beragam kemudahan dan kesempatan. Status sosial hingga ekonomi pun bisa meningkat. Tapi, hiruk-pikuk kota tidak membuat Hamzah, 29 tahun, bergeming. Di saat anak-anak muda berlomba untuk ‘menantang’ kehidupan kota, Hamzah malah kembali ke desa: Tujuannya ada dua: bertani kopi dan lebih dekat dengan keluarga.
Lulusan S1 fakultas kehutanan ini emoh menetap setelah bertahun-tahun mencicipi hiruk pikuk Kota Makassar dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Selatan. Dia memilih kembali ke kampung di Desa Kahayya, Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba, untuk menghidupkan kembali ladang kopi peninggalan orang tuanya.
Di Kota Makassar, Hamzah menimba ilmu di salah satu universitas. Sambil mencicipi bangku kuliah, dia pun bekerja sebagai operator dan desain bordir. Bertahun-tahun di Kota Makassar, Hamzah pun memutuskan untuk pindah kerja di Kabupaten Morowali. Namun, putusan terbesarnya adalah ketika kembali ke desa untuk bertani kopi.
Ya, keputusan tersebut bukan tanpa pertimbangan. Dia menyudahi 12 tahun masa perantauan di luar Desa Kahayya hanya demi keinginan lebih dekat dengan keluarga. Apalagi, orangtua Hamzah di desa sudah beranjak tua. Tentunya, butuh perhatian Hamzah. Kekinian, sudah hampir 3 tahun dirinya menetap di desa untuk bertani kopi.
“Saya sempat kerja di Makassar, lalu ke Morowali. Sekitar 2-3 tahun terakhir, saya kembali ke Kahaya untuk bertani kopi. Saya meninggalkan kota dan kembali ke desa karena ingin lebih dekat kepada keluarga. Selain orangtua yang lumayan tua, saya menyadari hasil kopi lumayan untuk kebutuhan sehari-hari,” ujar Hamzah saat ditemui, beberapa waktu lalu.
Menurut Hamzah, penghasilan yang didapat baik dari kota maupun di desa sejatinya tidak berbeda jauh. Bahkan, kata dia, jumlah penghasilannya relatif sama. Tapi yang membedakan, tentunya intensitas pendapatannya. Di kota, dia mendapatkan pendapatan bulanan. Di desa, berbeda. Dia memantik penghasilan per musim dari kopi.
“Pendapatan dari kopi dengan dari pekerjaan di kota, nominalnya hampir sebanding. Cuma kan kalau kerja di kota itu pendapatannya per bulan. Sementara, kopi itu (pendapatannya) per musim. Tapi kalau untuk angkanya, ya sebandung. Di sisi lain, kalau di sini (Desa Kahayya) kan sudah dekat sama keluarga,” terang Hamzah.
Menanam Kopi, Merawat Warisan Keluarga
Langkah Hamzah kembali ke desa memang bukan sekadar romantisme masa lalu. Tapi, langkah tersebut merupakan keputusan sadar untuk menjaga warisan keluarga–berupa tanah ladang–sekaligus membangun masa depan yang lebih berkelanjutan.
Orangtua Hamzah mewarisi sekitar 3 hektare ladang. Tanah tersebut dibagikan ke Hamzah dan 6 saudaranya. Wasiatnya hanya ingin agar tanah yang kosong tersebut, ditanami kembali. Kekinian, Hamzah sudah memenuhi wasian orangtua tersebut. Kurang lebih 1 hektare tanah ladang sudah ditanami kopi oleh Hamzah.
Baca Juga: Novel Kedai Bunga Kopi: Kisah Inspiratif Perempuan dan Aroma Perjuangan
“Saya ada tujuh bersaudara, jadi tanah itu dibagi. Ada wasiat dari orangtua agar lahan yang kosong ditanam kembali. Sekarang, saya sudah menanam kurang dari 1 hektare. Memang belum sepenuhnya karena saya baru tinggal di desa,” terang Hamzah.
Kopi memang bukan benda yang asing bagi keluarga Hamzah. Selama beberapa generasi, kopi menjadi bagian tak terpisahkan dari keluarga Hamzah. Ia mengenang bagaimana kehidupan di Desa Kahayya sejak dulu selalu berkaitan erat dengan tanaman kopi. Dari nenek moyang hingga orangtua Hamzah, semuanya mayoritas petani kopi.
“Kalau di kopi, sebenarnya orangtua dan nenek moyang itu mayoritas petani kopi. Sudah lama terjun ke pertanian kopi. Jadi, meski merantau atau keluar sekolah saat pagi, tetap kita terjunnya ke kebun kopi. Namun, saat ini orangtua lebih banyak di rumah. Saya yang turun ke ladang,” ujar Hamzah.
Nggak cuma itu, Hamzah pun mengaku mendapatkan ilmu tentang kopi dari keluarganya. Saban hari. Hamzah bersama orangtua dan keluarga lainnya dibiasakan untuk turun ke kebun. Selama itu, dia kerap melihat aktivitas keluarganya di ladang, dari mulai menanam, memetik merah hingga proses lain terkait kopi.

Mengutip laman Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, petik merah yakni memanen buat kopi yang sudah memerah. Keuntungannya yakni mutu buahnya bagus sehingga biji kering bermutu baik. Petik merah memiliki tantangan yakni harus mengejar kematangan yang tepat. Buah kopi tidak akan dibiarkan terlewat masak dan yang belum masak tidak akan dipetik.
Nah, dalam proses bertani, Hamzah tak sendiri. Ia mendapatkan dukungan dari program Global Environment Facility (GEF) Small Grants Programme (SGP) Indonesia yang memberikan pelatihan dan pendampingan. Program ini memperkenalkannya pada praktik pertanian berkelanjutan dan pengolahan kopi berkualitas.