Dedi Mulyadi Berlutut di Depan Kereta Kencana: Antara Pelestarian Budaya dan Tuduhan Penistaan Agama

Andi Ahmad S Suara.Com
Senin, 25 Agustus 2025 | 12:56 WIB
Dedi Mulyadi Berlutut di Depan Kereta Kencana: Antara Pelestarian Budaya dan Tuduhan Penistaan Agama
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (YouTube/Deddy Corbuzier)

Suara.com - Sebuah gestur penghormatan yang dilakukan oleh politisi Dedi Mulyadi di hadapan kereta kencana Nyi Roro Kidul dalam perayaan HUT RI ke-80 sontak menjadi buah bibir.

Momen tersebut viral di media sosial, memicu perdebatan sengit yang menempatkan ekspresi budaya berhadapan langsung dengan tuduhan penistaan agama.

Sebuah video yang beredar luas di platform media sosial X atau Twitter menjadi pemicu utama kontroversi ini.

Perayaan yang seharusnya berjalan khidmat berubah menjadi polemik nasional saat Dedi Mulyadi terekam melakukan gestur yang dianggap tak biasa

Dalam video yang dibagikan oleh akun X @ukhty_onya, terlihat Dedi Mulyadi yang mengenakan pakaian dinas serba putih, berlutut di atas karpet merah.

Posisinya tepat berada di hadapan sebuah kereta kencana berwarna putih yang telah dihias dengan aneka bunga.

Sembari berlutut, ia memberikan gestur hormat dengan kedua tangan disatukan di depan dada dan kepala yang menunduk.

Beberapa orang lain di sekitarnya juga tampak melakukan hal serupa, mengiringi momen yang terasa sakral tersebut. Aksi ini terjadi sebelum prosesi kirab dimulai, menjadikannya pusat perhatian.

Tak butuh waktu lama, video tersebut langsung mengundang gelombang reaksi, mayoritas bernada negatif. Seorang pria dalam salah satu unggahan video balasan menyebut bahwa ritual yang dilakukan Dedi Mulyadi dilarang dalam ajaran Islam.

Baca Juga: 7 Fakta Drama Ridwan Kamil: DNA Negatif, Tapi Misteri Uang Bulanan Muncul

"Dalam konteks agama kita Islam ritual-ritual yang dilakukan oleh kang Dedi Mulyadi adalah ritual yang dangan dilarang di dalam agama kita Islam," ucap pria itu.

"Sangat bertentangan sekali dengan akidah agama kita," lanjutnya.

Pria tersebut secara tegas menyebut tindakan itu sebagai perbuatan syirik akbar, atau dosa terbesar dalam Islam karena menyekutukan Tuhan.

"Apalagi acara penyembahan kepada kereta kencananya Nyi Roro Kidul, apalagi menyembah Nyi Roro Kidul ini adalah kesyirikan, syirik akbar," ungkapnya.

Ia juga menambahkan argumennya dengan menyatakan bahwa tidak semua warisan budaya harus dilestarikan jika bertentangan dengan ajaran agama.

"Meskipun ini adalah kebudayaan yang diwariskan oleh leluhur kita tidak semua budaya ataupun kebudayaan harus dilestarikan karena di dalam ajaran agama Islam dan salah satu tujuan Islam diturunkan adalah mengubah kebiasaan adat istiadat yang tidak sesuai dengan inti ajaran agama kita," pungkas pria tersebut.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi [X]
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi [X]

Komentar pedas dari warganet pun membanjiri unggahan tersebut:

"Ulama2 di purwakarta dulu sudah kasuskan si dedi ini ke kepolisian, krna menistakan islam dan Rasulullah. Tapi gak ditahan," kata akun @ON***A.

"Bisa kita bayangkan perjuangan para wali 9 dalam meluruskan aqidah, agar agama dan budaya tidak berbenturan, mana kebiasaan budaya yg boleh dilanjutkan mana yg tidak," timpal @RE***AN.

"Silahkan melestarikan budaya tapi jika bertentangan dengan tauhid wajib kita tolak.," imbuh @ca***OB.

"Tinggalkan pemimpin yg suka dg perbuatan syirik..," timpal @ar***_r.

Kereta kencana dalam tradisi Sunda dan Jawa seringkali bukan sekadar alat transportasi, melainkan benda pusaka yang sarat akan nilai filosofis dan sejarah.

Memberikan hormat bisa diartikan sebagai bentuk penghargaan terhadap nilai-nilai, seni, dan sejarah yang melekat pada objek tersebut, bukan pada entitas gaib yang diasosiasikan dengannya.

Budaya Sunda sendiri sangat menjunjung tinggi sopan santun dan rasa hormat (someah hade ka semah), tidak hanya kepada sesama manusia tetapi juga pada warisan dan alam.

momen Dedi Mulyadi hormat kepada perempuan berkostum Nyi Roro Kidul (X.com)
momen Dedi Mulyadi hormat kepada perempuan berkostum Nyi Roro Kidul (X.com)

Perdebatan ini pun menjadi cerminan dari tarik-menarik yang kerap terjadi di Indonesia antara praktik budaya lokal dan interpretasi ajaran agama yang puritan.

Dedi Mulyadi, yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Purwakarta, memang dikenal sebagai politisi yang sangat lekat dengan identitas dan simbol-simbol budaya Sunda.

Selama kepemimpinannya di Purwakarta, ia kerap mempromosikan festival budaya dan membangun monumen yang terinspirasi dari filosofi Sunda.

Kedekatannya ini pula yang membuatnya tidak asing dengan kontroversi serupa. Beberapa kebijakannya di masa lalu juga pernah menuai kritik dari kelompok agamis yang menganggapnya melakukan sinkretisme atau mencampuradukkan ajaran agama dengan kepercayaan lokal.

Namun, Dedi kerap membela tindakannya sebagai upaya merawat kekayaan budaya agar tidak punah tergerus zaman.

Kontributor : Mira puspito

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI

Ingin dapat update berita terbaru langsung di browser Anda?