Kondisi ini pernah diterapkan di Maluku dan Poso pada era 1990-an hingga awal 2000,0an, ketika konflik komunal memuncak di daerah tersebut.
Lalu Apa Imbasnya ketika Diterapkan?
Ketika diterapkan, keduanya membawa implikasi yang berbeda untuk masyarakat. Dalam konteks darurat sipil, masyarakat akan merasakan pembatasan aktivitas yang cukup signifikan.
Kontrol yang lebih ketat pada media sosial oleh pemerintah, pembatasan aksi unjuk rasa, hingga pembatasan mobilitas. Dalam konteks ini, pemerintahan sipil tetap berjalan sehingga demokrasi masih cenderung terjaga.
Pada konteks darurat militer, penerapannya akan mengubah banyak aspek dalam kehidupan masyarakat. Ruang demokrasi akan menyempit secara signifikan, kebebasan berpendapat bisa hilang, tidak ada kebebasan berkumpul, pergerakan yang dibatasi maksimal, dan sebagainya.
Peran militer akan lebih dominan dalam kehidupan sehari-hari, dan akan muncul potensi gesekan antara masyarakat dan militer jika kondisi tersebut tidak dijalankan secara cermat.
Alat Hukum Negara untuk Menghadapi Krisis
Kedua skenario ini sebenarnya merupakan alat hukum negara untuk berhadapan dengan krisis. Perbedaan utama terletak pada siapa yang memegang kendali penuh atas kondisi tersebut, serta seberapa jauh pembatasan pada kebebasan masyarakat.
Di Indonesia sendiri, penerapan skenarion tersebut jelas akan membawa pengaruh dan dinamika yang masif. Hal ini karena Indonesia sudah menjadi negara demokrasi sejak lama, yang menjamin banyak kebebasan warganya selama dalam koridor hukum yang berlaku.
Baca Juga: Apakah Indonesia Pernah Darurat Militer? Kerusuhan saat Ini Disebut Bagian Skenario
Kontributor : I Made Rendika Ardian